Hukum Warisan Bilateral

0 komentar 06 Maret 2009
KEBERADAAN MAWALI HUKUM KEWARISAN BILATERAL
Oleh : Moh. Mujib Zunun @l_Misri
Program Magister Manajemen Pendidikan Islam
STAIN TULUNGAGUNG

ABSTRAK

Menurut hukum kewarisan bilateral terdapat tiga prinsip kewarisan, yaitu: pertama, ahli waris perempuan sama dengan laki-laki dapat menutup ahli waris kelompok keutamaan yang lebih rendah. Selama masih ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka datuk ataupun saudara baik laki-laki maupun perempuan sama-sama ter-hijab. Kedua, hubungan kewarisan melalui garis laki-laki sama kuatnya dengan garis perempuan. Karenanya penggolongan ahli waris menjadi ashabah dan zawu al-arham tidak diakui dalam teori ini. ketiga, ahli waris pengganti (mawali) selalu mewaris, tidak pernah tertutup oleh ahli waris lain (utama). Jadi, cucu dapat mewaris bersama dengan anak manakala orang tuanya meninggal lebih dulu daripada kakeknya dan bagian yang diterimanya sama besarnya dengan yang diterima oleh orang tuanya (seandainya masih hidup). Keberadaan mawali ini merupakan konsep yang benar-benar baru dalam ilmu faraid (waris) dan lebih mencerminkan keadilan.

Kata kunci: mawali, hukum waris, Sunni, patrilineal, bilateral.



Pendahuluan
Bentuk kekerabatan dalam hukum Islam sangat menentukan azas yang berlaku dalam hukum kewarisan. Dalam al-Qur’an maupun Sunnah memang tidak menjelaskan tentang struktur kekerabatan tertentu menurut hukum Islam. Namun demikian dalam realitasnya kita dihadapkan berbagai macam bentuk susunan kekerabatan, meliputi: patrilineal, matrilineal, dan bilateral , yang masing-masing memiliki implikasi terhadap hukum waris Islam.
Dengan beragam bentuk kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat, bentuk kekerabatan bagaimana yang sesuai dengan hukum waris Islam. Bagi masyarakat Indonesia sistem bilateral dipandang lebih cocok, selain lebih mencerminkan keadilan, juga sesuai dengan semangat al-Qur’an. Sebab hukum waris yang berlaku selama ini adalah patrilineal, berasal dari kalangan Sunni yang banyak dipengaruhi oleh kultur Arab. Sehingga banyak kendala ketika menerapkan pada kultur yang berbeda.
Untuk itu tulisan ini akan membahas sistem kewarisan bilateral, lebih khusus lagi tentang keberadaan mawali dalam sistem kewarisan bilateral.

Hukum Kewarisan Bilateral
Membicarakan tentang kewarisan bilateral tidak bisa dilepaskan dari sosok Hazairin yang dikenal sebagai pencetus ide bentuk kewarisan bilateral. Kiprah Hazairin lebih dikenal dalam bidang ilmu hukum, terlebih dalam hukum adat. Selain itu pengetahuannya tentang tentang hukum Islam juga begitu mendalam. Melalui keahliannya dalam bidang hukum adat dan hukum Islam inilah, senat guru besar Universitas Indonesia mengukuhkan dirinya sebagai guru besar hukum adat dan hukum Islam pada fakultas hukum pada tahun 1952. Dengan keahliannya dalam kedua bidang hukum ini, ia tahu betul bagaimana kondisi hukum Islam di Indonesia bila dikaitkan dengan hukum adat. Teori Receptie yang dicetuskan oleh Snouck Hurgronje pada akhir abad XIX telah menjadikan hukum Islam tersingkir oleh hukum adat. Oleh karena itu Hazairin tidak segan-segan lagi untuk menyebut teori ini sebagai “teori Iblis”. Sebagai sanggahan atas teori ini ia kemudian mencanangkan teori Receptie Exit , yang kemudian ditindak lanjuti oleh muridnya, Sajuti Thalib, SH, dengan teori Receptie a Contrario.
Pemikirannya tentang hukum kewarisan yang terkenal dengan teori hukum kewarisan bilateral menurut al-Qur’an telah dipresentasikan pada tahun 1957. Dalam teori ini Hazairin mempertanyakan kebenaran hukum kewarisan yang dianut kalangan Sunni yang bercorak patrilineal bila dihadapkan dengan al-Qur’an. Dengan keahliannya dalam bidang hukum adat dan antropologi sosial Hazairin mengkaji ayat-ayat tentang perkawinan dan kewarisan. Menurutnya, al-Qur’an hanya menghendaki sistem sosial yang bilateral. Dengan demikian hukum kewarisan yang digariskan di dalamnya juga bercorak bilateral, bukan patrilineal seperti yang biasa dikenal selama ini. Hazairin telah memberikan pemahaman yang baru terhadap hukum kewarisan dalam Islam secara total dan komprehensif dengan asumsi dasar sistem bilateral yang dikehendaki al-Qur’an. Tentu saja sistem ini mempunyai dampak sosial yang luas bila dapat diterapkan dalam kehidupan. Yang menarik, agaknya teori ini lebih dekat dengan rasa keadilan dalam masyarakat kita, bila dibandingkan dengan sistem kewarisan bercorak patrilineal yang selama ini dikenal.
Sistem kewarisan patrilineal yang dianut kalangan Sunni sebenarnya terbentuk dari struktur budaya Arab yang bersendikan sistem kekeluargaan yang bercorak patrilineal. Pada masa terbentuknya fiqh, ilmu pengetahuan mengenai bentuk-bentuk masyarakat belumlah berkembang. Sehingga para fuqaha dalam berbagai mazhab fiqh belum memperoleh perbandingan mengenai berbagai sistem kewarisan dalam berbagai bentuk masyarakat. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila hukum kewarisan yang kemudian disusun bercorak patrilineal.
Menurut fiqh Sunni, terdapat tiga prinsip kewarisan: pertama, ahli waris perempuan tidak dapat menghijab (menghalangi) ahli waris laki-laki yang lebih jauh. Contohnya, ahli waris anak perempuan tidak dapat menghalangi saudara laki-laki. Kedua, hubungan kewarisan melalui garis laki-laki lebih diutamakan daripada garis perempuan. Adanya penggolongan ahli waris menjadi ashabah dan zawu al-arham merupakan contoh yang jelas. Ashabah merupakan ahli waris menurut sistem patrilineal murni, sedangkan zawu al-arham adalah perempuan-perempuan yang bukan zawu al-faraid dan bukan pula ashabah. Ketiga, tidak mengenal ahli waris pengganti, semua mewaris karena dirinya sendiri. Sehingga cucu yang orang tuanya meninggal lebih dulu daripada kakeknya, tidak akan mendapat warisan ketika kakeknya meninggal. Sementara saudara-saudara dari orang tua sang cucu tetap menerima warisan.
Menurut pengamatan Hazairin, sistem kewarisan sunni yang bercorak patrilineal tersebut kurang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat di Indonesia yang umumnya bercorak bilateral. Bagi masyarakat patrilineal seperti Batak, bukan berarti tidak ada konflik dengan sistem kewarisan kalangan sunni. Apalagi bagi masyarakat matrilineal seperti Minangkabau, tentu lebih berat lagi untuk menerima sistem kewarisan ini. Hal inilah yang menggugah Hazairin untuk memikirkan sistem bagaimanakah yang dikehendaki oleh al-Qur’an. Menurutnya, tidak mungkin al-Qur’an memberikan ketentuan yang tidak adil. Berdasarkan pengamatannya terhadap beberapa ayat tentang perkawinan dan kewarisan akhirnya dia mempunyai keyakinan bahwa al-Qur’an menghendaki sistem kekeluargaan yang bilateral.
Adapun dasar yang mendukung teorinya adalah Q.S. al-Nisa (4): 22-24, juga didukung oleh ayat-ayat 11, 12, 176 dalam surat yang sama. Dari ayat 22-24 diperoleh petunjuk bahwa semua bentuk perkawinan sepupu tidaklah dilarang, baik cross-cousins maupun parallel cousins . Dengan dibolehkannya perkawinan sepupu ini berarti tanggallah syarat exogami yang menjadi benteng bagi sistem clan dalam masyarakat yang patrilineal dan matrilineal. Jika clan telah tumbang maka timbullah masyarakat yang bercorak bilateral. Ayat 11 menjadikan semua anak, baik laki-laki maupun perempuan sebagai ahli waris bagi ayah dan ibu. Hal ini merupakan bentuk sistem bilateral, karena dalam patrilineal prinsipnya hanya anak laki-laki yang berhak mewaris sedangkan dalam sistem matrilineal anak-anak hanya mewaris dari ibunya, tidak dari bapaknya. Kemudian ayat 12 dan 176 juga mendukung sistem bilateral, yaitu dengan menjadikan saudaranya ahli waris bagi saudaranya yang mati punah (tak berketurunan), tidak dibedakan apakah saudara itu laki-laki atau perempuan.
Berikutnya ayat 7, 8, 11, 12, dan 176 memberikan ketentuan bahwa sistem kewarisan yang dikehendaki oleh al-Qur’an di samping bilateral adalah individual. Maksudnya masing-masing ahli waris berhak atas bagian yang pasti dan bagian-bagian tersebut wajib diberikan kepada mereka. Di sini terdapat istilah nasiban mafrudan, fa atuhum nasibuhum, al-qismah, di samping terdapat bagian-bagian tertentu (furud al-muqaddarah) dalam ayat-ayat tersebut. Jadi sistem kewarisan yang dikehendaki dalam al-Qur’an adalah individual bilateral. Dengan teorinya ini Hazairin agaknya ingin mengajak umat Islam untuk memperbaharui pemahaman terhadap ayat-ayat tentang kewarisan.

Keberadaan Mawali
Adapun ide pembaharuan dalam ilmu waris yang dicetuskan Hazairin pada intinya berintikan: pertama, ahli waris perempuan sama dengan laki-laki dapat menutup ahli waris kelompok keutamaan yang lebih rendah. Jadi, selama masih ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka datuk ataupun saudara baik laki-laki maupun perempuan sama-sama ter-hijab. Kedua, hubungan kewarisan melalui garis laki-laki sama kuatnya dengan garis perempuan. Karenanya penggolongan ahli waris menjadi ashabah dan zawu al-arham tidak diakui dalam teori ini. ketiga, ahli waris pengganti selalu mewaris, tidak pernah tertutup oleh ahli waris lain (utama). Jadi, cucu dapat mewaris bersama dengan anak manakala orang tuanya meninggal lebih dulu daripada kakeknya dan bagian yang diterimanya sama besarnya dengan yang diterima oleh orang tuanya (seandainya masih hidup).
Berdasarkan teori ini Hazairin membagi ahli waris menjadi tiga kelompok, yakni: zawu al-faraid, zawu al-qarabat, dan mawali. Zawu al-faraid adalah ahli waris yang telah ditetapkan bagiannya dalam al-Qur’an. Dalam hal ini hampir seluruh mazhab fiqh menyepakatinya, baik Sunni maupun Syiah. Bagian mereka ini dikeluarkan dari sisa harta setelah harta peninggalan dibayarkan untuk wasiat, hutang, dan biaya kematian. Adapun zawu al-qarabat adalah ahli waris yang tidak termasuk zawu al-faraid menurut sistem bilateral. Bagian mereka dikeluarkan dari sisa harta peninggalan setelah dibayar wasiat, hutang, onkos kematian, dan bagian untuk zawu al-faraid. Sedangkan mawali adalah ahli waris pengganti, yang oleh Hazairin konsep ini di-istinbat-kan dari Q.S. al-Nisa (4): 33. Adanya mawali (ahli waris pengganti) ini merupakan konsep yang benar-benar baru dalam ilmu faraid (waris).
Yang dimaksud mawali (ahli waris pengganti) di sini adalah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang akan digantikan tersebut. Hal ini terjadi karena orang yang digantikan tersebut telah meninggal lebih dulu daripada si pewaris. Orang yang digantikan ini merupakan penghubung antara yang menggantikan dengan pewaris (yang meninggalkan harta warisan). Adapun yang dapat menjadi mawali yaitu keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris, ataupun keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian (misalnya dalam bentuk wasiat) dengan si pewaris.
Selanjutnya secara rinci Hazairin membuat pengelompokan ahli waris kepada beberapa kelompok keutamaan secara hierarkhis, berdasarkan ayat-ayat kewarisan (Q.S. al-Nisa (4): 11,12,33, dan 176), sebagai berikut:
1. Keutamaan pertama: anak, mawali anak, orang tua, dan duda atau janda.
2. Keutamaan kedua: saudara, mawali saudara, orang tua, dan duda atau janda.
3. Keutamaan ketiga: orang tua dan duda atau janda.
4. Keutamaan keempat: janda atau duda, mawali untuk ibu dan mawali untuk ayah.
Masing-masing ahli waris dalam keutamaan ini berbeda-beda statusnya, ada yang sebagai zawu al faraid dan ada pula yang sebagai zawu al qarabat.
Setiap kelompok keutamaan di atas dirumuskan secara komplit, artinya kelompok keutamaan yang lebih rendah tidak dapat mewaris bersama-sama dengan kelompok keutamaan yang lebih tinggi. Karena kelompok keutamaan yang lebih rendah tertutup oleh kelompok keutamaan yang lebih tinggi. Inti dari kelompok keutamaan pertama adalah adanya anak dan atau mawali-nya. Tidak adanya anak dan atau mawali-nya berarti bukan kelompok keutamaan pertama. Inti kelompok keutamaan kedua adalah adanya saudara dan atau mawali-nya. Sedang inti dari kelompok keutamaan ketiga adalah adanya ibu dan atau bapak. Adapun janda atau duda meskipun selalu ada dalam setiap kelompok keutamaan, ia menjadi penentu bagi kelompok keutamaan keempat. Demikianlah cara kewarisan bilateral menyelesaikan persoalan waris jika terdapat ahli waris yang cukup banyak dan lengkap.
Dengan sistem kelompok keutamaan seperti yang dikemukakan oleh Hazairin ini, saudara dapat mewaris bersama dengan orang tua (bapak ataupun ibu), suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada hukum kewarisan Sunni yang bercorak patrilineal. Di samping itu tidak mungkin menjadikan ayah dari ayah atau ibu dari ayah sebagai zawu al-faraid, demikian pula terhadap cucu perempuan, seperti dalam sistem ilmu waris kalangan Sunni. Problem kasus kewarisan yang dianggap rumit, seperti ahli waris kakek bersama saudara (al-jadd ma’a ikhwan) yang banyak memunculkan variasi pendapat dalam sistem Sunni tidak akan pernah terjadi dalam sistem bilateral.

Tanggapan Pro dan Kontra
Gagasan tentang sistem kewarisan bilateral yang dicetuskan Hazairin ternyata mendapat tanggapan pro dan kontra di kalangan umat Islam Indonesia. Fenomena ini merupakan hal yang wajar apabila ada yang masih belum bisa menerima ide pembaharuan yang dia kemukakan. Apalagi dengan mendekontruksi sesuatu yang telah lama mapan, akan sulit diterima meskipun hal yang baru ini cukup rasional dan argumentatif. Namun bukan berarti mereka yang menolak termasuk tidak rasional. Mereka yang menolak di samping didasarkan pada pengetahuan tentang sistem kewarisan yang selama ini mereka ketahui, juga tidak sedikit pula yang mensikapi dengan penuh curiga terhadap sesuatu yang dianggap baru.
Meskipun pada awalnya banyak terjadi penolakan, namun tidak sedikit pula yang bersimpati dan mendukung ide kewarisan bilateral ini. Bahkan dewasa ini hampir setiap kali menbahas tentang ilmu waris hampir tidak melepaskan pemikiran Hazairin. Barangkali penolakan yang terjadi terhadap sistem kewarisan bilateral lambat laun berkurang seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan terbukanya masyarakat untuk menerima perubahan.
Dukungan terhadap pendapat Hazairin telah banyak dikemukakan dalam berbagai kajian ilmiah. Keberatan terhadap teori ini agaknya lebih disebabkan ketidakberanian mereka mengoreksi cara tafsir mazhab sunni yang lebih condong kepada sistem patrilineal dan terlanjur disakralkan.Untuk itu agar pemikiran Hazairin dapat diterima di kalangan sunni yang konservatif ini manakala dia mampu memahami bahwa sistem kewarisan Sunni merupakan salah satu hasil penalaran intelektual sebagaimana halnya yang dilakukan Hazairin.
Terlepas adanya sikap pro dan kontra di atas, perlu diketahui bahwa pemikiran Hazairin ini telah turut memperkaya perkembangan hukum Islam di Indonesia terlebih tentang ilmu waris. Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai bentuk kodifikasi hukum Islam di Indonesia agaknya tidak luput dari pengaruh Hazairin, seperti telah diaturnya ketentuan tentang ahli waris pengganti pada pasal 185.




Pengaruhnya Terhadap Pembagian Harta Waris
Mewarisi harta dari orang yang telah meninggal merupakan salah satu bentuk cara yang sah untuk memperoleh hak milik terhadap suatu benda. Sehingga pembagian harta dengan cara mewarisi merupakan salah satu bentuk pemilikan harta yang diakui dalam hukum Islam. Bahkan Islam mengatur distribusi harta kepada para ahli waris yang berhak dengan bagian jelas dan rinci. Sistem kewarisan yang bercorak patrilineal akan mencerminkan distribusi harta waris yang lebih didominasi dan lebih banyak memberi banyak peluang kepada kaum laki-laki. Hal sebaliknya terjadi bagi sistem kewarisan matrilineal. Adapun sistem kewarisan yang bercorak bilateral akan lebih memberi kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan dalam menerima distribusi harta warisan.
Apabila dilihat dari distribusi pembagian harta waris, sistem kewarisan sunni yang bercorak patrilineal dalam beberapa kasus tertentu kelihatan kurang dapat memberi penyelesaian yang adil terhadap para ahli waris. Berbeda dengan sistem kewarisan bilateral yang lebih memberikan keadilan. Satu contoh, misalnya, ada seorang yang meninggal dunia dengan ahli waris terdiri dari beberapa anak laki-laki dan perempuan, seorang isteri dan beberapa cucu yang orang tuanya telah meninggal. Menurut sistem kewarisan Sunni, cucu tidak mungkin dapat warisan dari kakeknya karena masih ada anak (saudara dari orang tuanya). Sedangkan menurut sistem bilateral, sang cucu tetap dapat mewarisi harta peninggalan kakeknya sebesar yang diterima orang tuanya seandainya masih hidup, karena cucu di sini berkedudukan sebagai mawali bagi anak. Dari contoh sederhana ini tampak bahwa pembagian harta waris yang ditawarkan melalui sistem bilateral tampak lebih adil.
Dengan demikian sistem kewarisan bilateral paling tidak telah memberi solusi bagi sistem kewarisan yang dianggap kurang dapat memenuhi keadilan, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Pembaharuan yang dicanangkan merupakan satu bentuk sistem yang padu dan menyeluruh, bahkan cukup berpengaruh terhadap perkembangan hukum Islam di Indonesia.

Penutup
Akhirnya, reinterpretasi terhadap sistem kewarisan bilateral pada dasarnya merupakan bentuk ketidak puasan menerima sistem kewarisan Sunni klasik. Doktrin Sunni yang selama ini dipegang oleh umat Islam di Indonesia bercorak patrilineal, padahal yang dikehendaki al-Qur’an adalah sistem kewarisan bilateral. Penafsiran hukum waris yang bercorak patrilineal kalangan Sunni sebenarnya merupakan pengaruh dari kultur bangsa Arab yang bercorak patrilineal. Sehingga perlu dirombak agar sesuai dengan kultur Indonesia yaitu menggunakan sistem bilateral yang lebih mencerminkan keadilan, terlebih dengan keberadaan mawali (ahli waris pengganti).



















Daftar Pustaka

A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum waris Islam Transformatif, cet. I (Jakarta: Rajawali Pers, 1997).
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Mualamat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta:FH-UII, 1993).
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, (Padang : Angkasa Raya, 1993).
----------------------, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Prenada Media, 2004).
H. Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Djuhana S. Pradja (Pengantar), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, cet. 2 (Bandung: Rosda Karya, 1994).
Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, cet. 3 (Jakarta: Tintamas, 1976).
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, cet.2 (Jakarta: Tintamas, 1968).
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadits, cet. 7 (Jakarta: Tintamas,1990).
M. Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam, dalam Muhammad Wahyuni Nafis et. al., Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA., cet 1 (Jakarta: Paramadina-IPHI, 1995).
M. Idris Rammulyo, Hukum Kewarisan Islam, (IND-Hill, co, 1987).
Sajuti Thalib SH, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, cet. 4 (Jakarta: Sinar Grafika, 1993).
read more “Hukum Warisan Bilateral”

Dinamisasi Hukum Islam Versi M. Shalthot

0 komentar
DINAMISASI HUKUM ISLAM VERSI MAHMUD SYALTUT
Oleh : Moh. Mujib Zunun @l Misri
Program Magister Manajemen Pendidikan Islam
IAIN TULUNGAGUNG


ABSTRAK


Dinamisasi hukum Islam merupakan bagian dari upaya memahami hukum Islam agar berjalan sesuai dengan konteks zamannya. Banyak metode dan pendekatan yang digunakan ketika melakukan kajian intens terhadap permasalahan ini, khususnya mengenai pemahaman relasi teks dengan konteks. Sebagai salah seorang pembaharu yang senantiasa mengobarkan semangat ijtihad, Mahmud Syaltut memiliki metode sendiri ketika mengkaji permasalahan kontemporer terkait dengan hukum Islam. Menurut Syaltut sumber hukum Islam adalah al-Qur’an, Sunnah, dan ra’yu. Pemahaman terhadap al-Qur’an dan Sunnah dimaksudkannya sebagai pendekatan langsung terhadap teks kedua sumber tersebut, sedangkan ra’yu merupakan ijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak dijumpai nash (al-Qur’an dan Sunnah) yang dipraktekkan melalui metode ijma’, qiyas, dan maslahah mursalah. Melalui metode tersebut, persoalan-persoalan kontemporer coba dipahami dengan sumber-sumber hukum yang ia gunakan. Dengan pemahaman demikian hukum Islam ditangan Syaltut tampil lebih dinamis sesuai dengan konteks zamannya.

Kata Kunci: ijtihad, hukum Islam, Mahmud Syaltut


Pendahuluan

Mahmud Syaltut yang hidup antara tahun 1893-1963 M adalah salah seorang ulama Mesir yang berpandangan luas dan berpengetahuan mendalam dalam bidang keagamaan. Latar belakang Syaltut adalah seorang yang berpendidikan agama tradisional namun memiliki wawasan dan pembaharuan yang monumental pada masanya.
Meskipun dalam literatur kesarjanaan Barat kurang dikenal, Syaltut merupakan Syaikh al-Azhar yang populer dan hingga kini namanya masih dikenal oleh kaum terpelajar muslim di segenap penjuru dunia. Sebagai seorang ulama dan pemikir, Syaltut memiliki pemikiran yang relevan untuk perkembangan kehidupan umat pada zamannya. Ia seorang ahli fikih dan berwawasan luas, kedalaman ilmunya dan keluasan pandangannya menyebabkannya mampu mengemukakan hukum Islam yang relevan dengan kebutuhan zamannya. Di samping memiliki pandangan yang luas dalam hukum Islam, ia juga seorang ahli tafsir yang melakukan penafsiran langsung kepada al-Qur’an dengan mengumpulkan ayat-ayat tentang suatu masalah, lalu ayat tersebut dijadikan jawaban atas permasalahan tersebut. Dalam hal ini ia dipandang sebagai pelopor metode tafsir maudhu’i, metode tafsir yang dianggap paling banyak sumbangannya dalam menangkap pesan al-Qur’an untuk menjawab problem kemanusiaan modern.
Syaltut selalu berusaha memberantas kekakuan atau kebekuan dalam berfikir dan fanatisme mazhab yang menjadi perpecahan umat Islam. Dengan membuka kembali pintu ijtihad, ia menganjurkan para ulama untuk ijtihad langsung pada al-Qur’an, karena menurutnya ada ayat al-Qur’an yang menunjukkan hukum secara tidak tegas (zanni ad-dalalah) sehingga dapat dipahami dengan berbagai macam penafsiran.
Pemikiran-pemikirannya tentang ilmu-ilmu keislaman tertuang dalam beberapa karyanya sebagai berikut: 1. Al-Fatawa, merupakan sebuah koleksi fatwanya yang dikelompokkan dalam beberapa bahasan; 2. Al-Islam Aqidah wa Syariah, yang sebagian besar menyoroti tentang syariah yang membahas berbagai topik hukum serta sumber-sumber hukum Islam; 3. Min Tawjihad al-Islam, memuat tentang berbagai artikel dan tulisan mengenai topik-topik Islam yang beragam; 4. Al-Qur’an wa al-Mar’ah (al-Qur’an dan wanita); 5. Fiqh al-Qur’an wa as-Sunnah (Memahami al-Qur’an dan Sunnah); 5. Al-Qur’an wa al-Qital (al-Qur’an dan peperangan); 6. Kitab Muqaranah al-Mazahib (Perbandingan Mazhab); 7. Al-Mas’uliyyah al-Madaniyyah (Tanggung jawab Perdata dan Pidana Dalam Hukum Islam); 8. Al-Islam wa al-wujuh ad-Duali li al-Islam (Islam dan Eksistensi Agama bagi Islam); 9. Tanzim al-‘Alaqah ad-Dualiyyah fi al-Islam (Pengaturan Hubungan Internasional Dalam Islam); 10. Tanzim al-Nasl (Keluarga Berencana) .
Mengingat latar belakang Mahmud Syaltut yang demikian menarik kiranya untuk mengungkap pemikirannya seputar hukum Islam, khususnya tentang dinamisasi ijtihad terhadap permasalahan aktual pada masa itu. Namun sebelum mengkaji beberapa permasalahan hukum hasil ijtihad Mahmud Syaltut terlebih dulu mengupas sumber-sumber hukum yang dia gunakan, sebab melalui sumber hukum inilah yang menjadi dasar ijtihad yang dia tempuh.

Sumber Hukum Islam Menurut Mahmud Syaltut
Berbeda dengan kesepakatan ulama klasik yang menjelaskan tentang urutan sumber hukum terdiri dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Mahmud Syaltut menampilkannya dalam tiga sumber saja, yaitu: al-Qur’an, Sunnah, dan Ra’yu. Sedangkan Ijma’ dan Qiyas menurut Mahmud Syaltut dimasukkan dalam kategori Ra’yu.
1). Al-Qur’an
sebagai sumber hukum yang pertama, al-Qur’an memuat ayat-ayat hukum yang relatif sedikit dan sangat terbatas jumlahnya. Dengan keterbatasannya itu jelas tidak memuat permasalahan-permasalahan yang baru (laisa muta’akhiran fi kulli ma ja a min ahkam). Karena komunitas Arab yang disapa al-Qur’an pun telah memiliki tradisi dan norma yang dirujuk dalam kehidupannya. Ayat-ayat ini hanyalah berfungsi sebagai konfirmasi, modifikasi, abolisi, dan baru legislasi (aqarra, hadzdhaba, alqha, dan yadullu). Sikap al-Qur’an ini menurut Syaltut didasarkan kepada semangat ajaran al-Qur’an untuk selalu mengelola kesejahteraan manusia, mewujudkan keadilan, dan memelihara hak-hak manusia. Oleh karenanya, kehadiran Islam tidaklah menghancurkan unsur-unsur yang telah tertanam dalam kehidupan komunitas suatu masyarakat.
Kandungan hukum yang dalam al-Qur’an tidak semuanya disampaikan dengan menggunakan lafadh-lafadh yang jelas dan pasti maknanya, namun adakalanya ayat itu tampil dalam bentuk yang memerlukan pemahaman seksama. Model yang pertama dikualifikasikan sebagai ayat-ayat qath’i yang tidak menjadi wilayah ijtihad. Sedangkan model yang kedua membutuhkan otoritas penjelasan yang dalam hal ini diperankan oleh Sunnah. Namun demikian karena zaman terus berganti dengan segala konsekuensi perubahannya, secara tekstual al-Qur’an berikut Sunnahpun tidak lagi menyentuh dinamika perubahan tersebut. Menurut Syaltut, melalui bingkai kaedah-kaedah universal (Qawaid al-Kulliyah) dan tujuan-tujuan umum (Maqashid al-Ammah), ijtihad terhadap permasalahan-permasalahan baru harus dilakukan.
2). Sunnah
Menurut pandangan Syaltut, muatan hukum yang terkandung dalam Sunnah memiliki fungsi sebagai berikut; pertama, menjelaskan kemujmalan al-Qur’an, mentakhsis keumuman al-Qur’an, memberi batasan (taqyid) makna mutlaq al-Qur’an, dan secara mandiri menjelaskan tentang ibadah, halal dan haram, akidah, dan akhlak. Peraturan hukum yang terkandung dalam Sunnah yang demikian itu berlaku abadi. Kedua, menjelaskan perilaku Nabi saw sebagai pemimpin umat Islam yang ditampilkan dalam bentuk kepemimpinan Nabi, misalnya dalam hal mengatur pemeritahan, mengangkat hakim dan gubernur, membagi ghanimah, melaksanakan berbagai perjanjian-perjanjian, menjadi pemimpin perang, dan permasalahan-permasahan publik lainnya. Sunnah jenis ini tidak menjadi peraturan hukum yang berlaku umum. Ia hanya tasyri’ khas yang hanya dijalankan lewat petunjuk Imam. Ketiga, menjelaskan perilaku Nabi saw sebagai hakim yang memutuskan berbagai perkara. Sebagaimana halnya jenis Sunnah yang kedua, jenis yang ketiga inipun hanya bernilai tasyri’ khas yang hanya bisa berlaku lewat petunjuk Imam.
Berdasarkan pejelasan di atas, aspek hukum yang terkandung dalam Sunnah memuat unsur-unsur berikut:Pertama, akidah yang membedakan antara Iman dan kufur, sifat-sifat Allah, Rasul-rasul, wahyu dan hari akhir;Kedua, akhlak yang berisi pesan-pesan moral dan kebijaksanaan; Ketiga, hukum-hukum praktis (al-Ahkam al-‘Amaliyah) yang berkaitan dengan peraturan-peraturan ibadat, mengurusi masalah muamalah, pemerataan hak dan keadilan hukum di antara manusia.
Unsur yang ketiga inilah Sunnah dikategorikan sebagai sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an. Sedangkan hukum-hukum yang diperoleh dari hadits ini disebut sebagai fiqhus sunnah . Sebagaimana halnya fiqhul qur’an diistilahkan untuk hukum-hukum ibadah dan muamalah yang diistinbatkan dari ayat-ayat al-Qur’an. Berkaitan dengan hal ini Syaltut mengatakan bahwa hukum-hukum amali yang berkaitan dengan seputar permasalahan kemanusiaan baik sebagai individu maupun masyarakat diselesaikan dengan mengambil secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah. Ini diungkapkan ketika Syaltut memperkenalkan fiqhul qur’an dan fiqhul sunnah sebagai metode ijtihad.
3). Ra’yu
Mahmud Syaltut tidak mendefinisakan secara jelas apa yang dimaksud ra’yu. Namun dengan menggunakan pendekatan historis, Syaltut mengedepankan bukti bahwa ra’yu telah dipraktekkan sejak masa Rasul saw. kemudian pada masa Sahabat realisasi ra’yu muncul dalam dua bentuk; pertama, bentuk ijma’ yang mekanismenya dilakukan melalui musyawarah yang diwakili oleh para tokoh otoritatif (ulul amri). Kedua, bentuk fardi yang mekanismenya dikemukakan dengan menggunakan kebebasan pendapat bagi individu.
Menurut Syaltut, ijma’ yang menjadi bagian dari ra’yu yang dapat dijadikan sumber hukum adalah kesepakatan para ahli pikir terhadap berbagai macam kasus yang dibahas oleh para tokoh Syura berdasarkan pertimbangan kemaslahatan manusia. Keputusan hukum yang dihasilkan oleh ijma’ dapat dihapus oleh kesepakatan ijma’ yang datang kemudian. Ini didasarkan pada logika penentuan adanya maslahat yang berkaitan dengan suatu permasalahan bisa berbeda berdasarkan perbedaan waktu, tempat, dan kondisi.
Sedangkan ijtihad fardi terbuka bagi siapa saja dari kalangan umat Islam yang memiliki kualifikasi dibidang penelitian hukum. Meskipun Syaltut tidak menyebutkan secara khusus model ra’yu dalam metodologinya selain ijma’, namun dalam fatwa-fatwanya ditemukan bahwa ra’yu yang dimaksud adalah qiyas dan maslahah mursalah. Berkaitan dengan permasalahan-permasalahan baru yang menuntut pemecahan hukumnya, Syaltut mengatakan bahwa ketiga sumber itu harus dioperasionalkan dengan menggunakan skala prioritas. Jika ayat-ayat al-Qur’an dapat mencakup kasus tersebut, maka ayat tersebut yang diberlakukan. Jika tidak dijumpai baru menggunakan Sunnah. Sedangkan ra’yu digunakan sebagai pilihan terakhir dalam mencari ketentuan hukum dan tidak terpisahkan dari semangat kedua sumber di atas.

Beberapa Produk Ijtihad Mahmud Syaltut Apabila Ditinjau Dari Prinsip-Prinsip Ijtihad
Terdapat berbagai macam rumusan yang dikemukakan ulama berkaitan tentang ijtihad. Namun dari rumusan-rumusan tersebut dapat diambil beberapa esensi yang menjadi syarat bagi terwujudnya ijtihad, yaitu: pertama, ijtihad merupakan upaya pencurahan kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh ulama; kedua, tujuan ijtihad adalah untuk mendapatkan kepastian hukum yang sifatnya zanni; ketiga, ijtihad dilakukan terhadap hukum yang sifatnya amali; keempat, dilakukan dengan melalui istinbat; kelima, obyek ijtihad hanyalah dalil-dalil yang zanni atau yang tidak ada dalilnya sama sekali. Berdasarkan prinsip-prinsip inilah ijtihad dilakukan, sebagaimana halnya dapat kita lihat dari berbagai macam ijtihad Mahmud Syaltut terhadap berbagai macam permasalahan aktual yang terjadi pada masanya.
1). Masalah Poligami
Masalah poligami menjadi perhatian Mahmud Syaltut ketika dia menjumpai pandangan masyarakat Mesir ada yang terpengaruh pola pikir Barat yang mulai mengotak atik dan mempermainkan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam hal ini Syaltut berpendapat bahwa pada dasarnya hukum poligami adalah mubah dan tetap dapat dipraktekkan hingga saat ini. Dengan berdasarkan pada surat an-Nisa ayat 3 dan an-Nisa ayat 129 dengan penjelasan relatif klasik Syaltut mengatakan bahwa
“Berkaitan dengan masalah poligami, Islam tidaklah memunculkan sesuatu yang baru akan tetapi menetapkan apa yang telah berlaku secara alami di masyarakat. Dengan memperbaiki apa yang dipandang perlu, sehingga menjamin sikap moderat yang menjaga watak alamiah manusia serta memelihara berbagai penyelewengan dalam masyarakat. Sebagaimana perkawinan yang sudah lama dikenal dalam masyarakat, poligami pun sebenarnya sudah dipraktekkan sejak dahulu. Poligami juga telah dikenal dalam tradisi agama-agama samawi dan meluas sedemikian rupa”.

Sesuai dengan metode ijtihad yang ia gunakan, di sini Syaltut berijtihad dengan mendasarkan kepada ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan kepada permasalahan tersebut, yaitu surat an-Nisa ayat 3 yang membicarakan tentang kebolehan poligami dan ayat 129 yang berbicara tentang persyaratan bagi yang hendak melakukan poligami. Fatwa ini menjadi penting di saat para ulama disekelilingnya telah banyak yang beralih pendapat terutama dari pengaruh pemikiran Barat yang seakan-akan menutup pintu poligami.
Pendapat Syaltut di atas bukanlah hal baru tentang seputar permasalahan poligami. Melalui pendekatan historis ia menjelaskan bahwa ayat ini tidak membuat peraturan tentang poligami sebagai sesuatu yang baru karena telah dikenal dan dipraktekkan oleh berbagai agama serta adat istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Ayat ini juga tidak mewajibkan atau menganjurkan poligami namun hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itupun hanya pintu keciul bagi yang amat membutuhkan dengan persyaratan yang tidak ringan. Dengan demikian pembahasan tentang poligami hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik buruknya tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.
2). Bersalaman Dengan Perempuan Tidak Membatalkan Wudlu
Mahmud Syaltut berpendapat bahwa bersalaman dengan perempuan tidak menyebabkan batalnya wudlu. Pendapat ini dikemukakan berkaitan dengan pengertian (Lamastumun Nisa) dalam surat al-Maidah ayat 6. Di antara argumentasi yang dikemukakan Syaltut berdasarkan hadits-hadits yang menunjukkan tidak batalnya wudlu ketika tangan laki-laki dan perempuan bersentuhan. Selain itu tiadanya kebutuhan wudlu saat bersentuhan tangan dengan perempuan merupakan kemudahan (rukshoh) yang diajarkan oleh syariat.
Dalam hal ini Syaltut memperluas pemahaman tentang makna “Lamastumunnisa” tidak hanya bermakna menyentuh, namun berhubungan seksual dengan lawan jenis. Pendapat ini dikokohkan Syaltut dengan dasar hadits yang berbicara tentang hal tersebut. Berdasarkan metode ijtihad yang Syaltut gunakan dalam hal ini peran memiliki porsi yang kuat dalam menjelaskan makna ayat al-Qur’an.
3). Keharaman Narkoba
Syaltut berpendapat bahwa mengkonsumsi narkoba haram hukumnya. Keharaman narkoba diqiyaskan dengan keharaman minum khamer. Dia berpendapat illat keharaman khamer itu adalah karena merugikan orang yang meminumnya baik secara mental, fisik, spiritual, ekonomi, bahkan sosial. Unsur-unsur perusak yang terdapat dalam khamer terdapat pula dalam narkoba. Karena adanya kesamaan illat inilah yang menjadikan narkoba haram hukumnya.
Pendapat ini kalau dikaitkan dengan prinsip ijtihad tampaknya Syaltut menggunakan metode qiyas, dengan mengambil persamaan illat hukum dari khamer yang sudah jels hukumnya dengan narkoba yang merupakan masalah kontemporer yang tidak disebutkan hukumnya dalam al-Qur’an.
4). Ar-Riqab (Memerdekakan Budak)
Penafsiran konvensional terhadap ar-Riqab (memerdekakan budak) sebagai kalangan yang berhak menerima zakat, yakni tuan si budak yang akan menjual budak tersebut kepada orang yang akan membelinya untuk dimerdekakan atau orang yang akan menerima ganti kemerdekaan budak itu . Untuk itulah para pihak yang berbuat demikian itu yang berhak mendapatkan bagian zakat.
Menurut Mahmud Syaltut, dalam konteks ini penafsiran ar-Riqab perlu diperluas tidak melulu menyangkut membebaskan budak tetapi merupakan upaya membebaskan negara-negara yang masih dikuasai negara adikuasa yang bertindak zalim baik secara politik, ekonomi, maupun ideologis. Negara-negara semacam ini masuk dalam cengkeraman perbudakan dan mengekang kebebasan warganya sehingga bagi kemanusiaan secara global dampaknya lebih mengerikan daripada sekedar perbudakan hamba sahaya. Lagi pula lanjut Syaltut perbudakan yang ditunjuk dalam surat at-Taubah ayat 60 itu sudah tidak ditemukan lagi faktanya di dunia sekarang ini.
Lebih lanjut Syaltut menjelaskan bahwa negara-negara yang masih diperbudak ini umumnya adalah negara yang warganya mayoritas beragama Islam. Oleh karena itu, ia menegaskan, alangkah pantasnya jika perbudakan semacam ini dibebaskan lewat perlawanan dan perjuangan guna melepaskan penjajahan negara adikuasa yang jelas menimbulkan dampak kerugian bagi kemanusiaan. Untuk usaha pembebasan ini, Syaltut berpendapat tidak hanya dengan zakat saja namun juga melibatkan jiwa dan raga.
Dalam kasus memerdekakan budak (ar-Riqab), Syaltut menggunakan pendekatan qiyas. Dia menganalogikan penjajahan atas bangsa dengan perbudakan pada masa awal Islam. Walaupun Syaltut tidak menjelaskan illat-nya, namun hal itu bisa dipastikan dengan merujuk lanngsung kepada surat at-Taubah ayat 60 di atas. Kiranya illat yang mengikat antara memerdekakan budak pada masa awal Islam dengan memerdekakan bangsa yang terjajah adalah menyingkirkan kesulitan dan menjauhkan nestapa manusia.

5). Fi Sabilillah
Para ulama klasik sepakat bahwa yang dimaksud fi sabilillah adalah orang-orang yang terlibat peperangan dalam rangka membela agama Allah.
Mahmud Syaltut menegaskan bahwa dengan membaca pendapat dalam literatur kitab-kitab fiqh terhadap permasalahan tersebut tidaklah memuaskan. Dalam pandangannya, fi sabilillah dalam ayat yang terangkai dengan mustahiq zakat adalah berkaitan dengan maslahah al-ammah (kemaslahatan umum) yang tidak bisa ditafsiri hak milik individu. Yang dimaksud dengan kemaslahatan umum di sini adalah pembentukan pasukan perang yang kuat untuk persiapan pertahanan negara dan membela kehormatan bangsa meliputi bidang personil, akomodasi, dan peralatan. Di samping itu pengembangan infra struktur dalam suatu negara guna meningkatkan kesejahteraan bagi warganya meliputi pembangunan rumah sakit, jembatan, sekolahan, sarana transportasi, serta segala perlengkapan yang berhubungan dengan syiar Islam yang perlu disosialisasikan secara massal termasuk kebutuhan juru dakwah yang handal juga merupakan bagian dari upaya kemaslahatan umum.
Pendapat Syaltut tentang fi sabilillah di atas didasarkan pada perluasan makna sabilillah yang secara esensial meliputi segala sesuatu yang dapat memelihara kehormatan bangsa baik dalam hal materiil maupun spirituil sekaligus menampilkan jatidiri bangsa sebagai identitas pembeda dengan bangsa yang lainnya.
Apabila dilihat dari sudut pandang prinsip-prinsip ijtihad tampaknya Syaltut menggunakan pendekatan maslahah ketika menafsirkan makna sabilillah. Berdasarkan berprinsip maslahah esensi suatu hukum tampak lebih hidup dan memberi jawaban nyata terhadap realitas masyarakat.
Dari beberapa pemikiran Mahmud Syaltut di atas menunjukkan, bahwa apa yang diungkapkan Syaltut tidak lain merupakan salah satu bentuk upaya mengembangkan pemahaman terhadap permasalahan hukum terkait dengan perubahan sosial sehingga hukum Islam tampak dinamis dalam menyikapi permasalahan kontemporer yang disebabkan perkembangan zaman. Hakekat dinamisasi ditunjukkan Syaltut dengan merumuskan kembali ketentuan hukum dengan mengedepankan relasi teks dengan konteks. Terlebih tujuan utama disyariatkan hukum adalah untuk kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatan tersebut bersifat dinamis dan fleksibel. Maksudnya, pertimbangan kemaslahatan tersebut seiring dengan perkembangan zaman. Sebagai konsekuensinya, bisa jadi yang dianggap maslahat pada masa lalu belum tentu dianggap maslahat pada masa sekarang.
Ketika memahami kasus hukum, Syaltut tidak hanya terpaku pada normativitas suatu teks. Pendekatan historis ia gunakan dalam memahami kasus hukum, seperti poligami. Di samping itu Syaltut juga menggunakan pendekatan sosiologis ketika membahas tentang permasalahan memerdekakan budak (ar-Riqab) dan makna fi sabilillah. Dalam hal ini Syaltut mengkaitkan bunyi teks dengan konteks sosial pada masa itu. Dengan keluasan pandangan dan pemikirannya tentang hukum Islam tidak lantas menghiraukan teks. Pendekatan tekstual dengan menekankan aspek kebahasaan tetap juga ia pergunakan terhadap kasus-kasus tertentu, seperti pada permasalahan bersalaman dengan perempuan tidak membatalkan wudlu. Dalam hal ini ia memahami lafazd Lamastumun Nisa’ dengan pendekatan kebahasaan dengan mencari hadits-hadits pendukung. Dengan pemahaman demikian, hukum Islam ditangan Syaltut tampil dinamis sesuai dengan konteks zamannya.

Penutup

Apa yang ditampilkan Syaltut merupakan bagian mata rantai ijtihad yang dikobarkan para pemikir Islam tentang pentingnya mengembangkan pemahaman Islam sesuai dengan konteks zamannya. Meskipun belum terpetakan secara menyeluruh, Mahmud Syaltut termasuk tokoh pembaharu pada masanya yang menawarkan formulasi metode ijtihad yang disebutnya sebagai fiqhul qur’an wa fiqhul sunnah dan ar-ra’yu. Fighul Qur’an dan Sunnah dimaksudkannya sebagai pendekatan langsung terhadap lafal-lafal keduanya, sedangkan ar-ra’yu adalah model ijtihad untuk berbagai persoalan yang tidak dijumpai nashnya dalam al-Qur’an dan Sunnah yang dipraktekkan melalui ijma’, qiyas, dan maslahah mursalah.


Daftar Pustaka


Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah, Vol IV,(Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, tt).

Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid IV (Darul Fikr, tt).

Amir Muallim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1999).

Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, (Kairo: Dar al-Tab’ah al-Munirah, tt).

Ensiklopedi Islam, jilid IV (Jakarta:PT.Ichtiar Van Hoeve, 1993).

H.M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998).

Ibnu Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Jilid II (Darul Fikr, 1980).

Kate Zabiri, “Syaikh Mahmud Syaltut Antara Tradisi dan Modernitas”, dalam Al-Hikmah No. 12/Januari-Maret 1994.

M. Jawad Maghniyyah, Tafsir al-Kasysyaf, Jilid IV, (Darul Ilmi Lil A’lamin, tt).

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid IV, (Jakarta: Lentera Hati, 2002).

Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, (Beirut: Dar asy-Syuruq, 1972).

Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syariah, (Darul Qalam: 1966).

Muhammad al-Bahi, Pengantar dalam Al-Fatawa (al-Idarah al-Ammah li ats-Tsaqafah al-Islamiyah bi al-Azhar, 1959).

Muhammad al-Ghazali, al-Musytasyfa Min Ilmi al-Ushul, (al-Maktabah al-Jadidah: tt).
read more “Dinamisasi Hukum Islam Versi M. Shalthot”

Pra Kutubus Sittah

1 komentar
BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Banyak sekali kitab – kitab hadits yang ditulis pada masa kodifikasi hadits, memang pada saat itu para ulama berlomba-lomba untuk menulis hadist, karena ada perintah dari khalifah pada saat itu, khalifah pada sat itu khawatirkan jika para ulama meninggal di medan peperangan, maka hadist-hadist shahih akan lenyap bersama matinya para ulama, dan di khawatirkan juga hadits-hadits shahih bercampurdengan hadits palsu .
Pada makalah ini penyaji akan mengetengahkan beberapa pembahasan yang Cuma sekelumit dari kitab-kitab yang ditulis pada saat itu.tentu saja keterbatasan pengetahuan penulisan membuat pembahasan ini terkesan terbatas. Semoga dengan keterbatasan ini timbul motivasi dari para pembaca untuk mau menggali lebih dalam tentang pembahasan ini.

RUMUSAN MASALAH
1. Tingkatan kitab hadits
2. Al-Muwatho’
3. Musnad Syafi’i
4. Musnad imam hambali

A. Tingkatan Kitab Hadits
Tingkatan Kitab Hadits
Menurut penyelidikan para ulama ahli hadits secara garis besar tingkatan kitab-kitab hadits tersebut bisa dibagi sebagai berikut:
1. Kitab Hadits ash-Shahih yaitu kitab-kitab hadits yang telah diusahakan para penulisnya untuk hanya menghimpun hadits-hadits yang shahih saja.
2. Kitab-kitab Sunan yaitu kitab-kitab hadits yang tidak sampai kepada derajat munkar. Walaupun mereka memasukkan juga hadits-hadits yang dha'if (yang tidak sampai kepada munkar). Dan sebagian mereka menjelaskan kedha'ifannya.
3. Kitab-kitab Musnad yaitu kitab-kitab hadits yang jumlahnya sangat banyak sekali. Para penghimpunnya memasukkan hadits-hadits tersebut tanpa penyaringan yang seksama dan teliti. Oleh karena itu di dalamnya bercampur baur di antara hadits-hadits yang shahih, yang dha'if, dan yang lebih rendah lagi. Adapun kitab-kitab lain adalah disejajarkan dengan al-Musnad ini.
Di antara kitab-kitab hadits yang ada maka Shahih Bukhari-lah kitab hadits yang terbaik dan menjadi sumber kedua setelah al-Qur'an, dan kemudian menyusul hadits Muslim. Ada para ulama hadits yang meneliti kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari, tetapi ternyata kurang dapat dipertanggungjawabkan, walaupun dalam cara penyusunan hadits-hadits, kitab Muslim lebih baik daripada kitab Bukhari, sedang syarat-syarat hadits yang digunakan Bukhari ternyata tetap lebih ketat dan lebih teliti daripada apa yang ditempuh Muslim. Seperti tentang syarat yang diharuskan Bukhari berupa keharusan kenal baik antara seorang penerima dan penyampai hadits, di mana bagi Muslim hanya cukup dengan muttashil (bersambung) saja.

B. Al Muwattho’
Al muwatha yang paling terkenal dari kitab-kitab hadist abad ke dua dan mendapat sambutan yang besar sekali dari para ulama. Dia mengandung rangkaian kabar dari nabi, dari sahabat dan dari tabi’in.
Al Muwatta' adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.
Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta' tak akan lahir bila Imam Malik tidak 'dipaksa' Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta'. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M).
Dunia Islam mengakui Al Muwatta' sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta', Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.
Muwattho’ adalah kitab hadist tertua yang sampai hingga ke tangan umaat islam saat ini,, menurut beberapa riwayat yang berasal dari Imam Malik, karya tersebut dinamakan muwattho’ karena sebelum kitab ini disebar luaskan kepada masyarakat, kitab ini telah di koreksi oleh 70 ulama dan mereka menyetujuinya, Al Muwatha’ disebut juga kitab fikih karena susunan babnya berisi masalah-masalah fikih
Lebih dari itu kitab al muwatho’ dianggap sebagai kitab hadist pertama yang disusun berdasarkan hadist-hadist shahih yang ghairu mujarrod (masih hidup, tak terlepas). Artinya tidak murni hadist shahih karena dalam kitab ini masih terdapat hadist-hadist mursal , hadist mauquf, bahkan terdapat pula apa yang disebut balaghoh, yaitu hadist yang diriwayatkan imam malik tetapi tidak disebutkan dari siapa ia mendengar hadist itu.
Hadist-hadist yang diriwayatkan dalam kitab al-muwatho’ belum tercantum urutan-urutan periwayatnya sebagaimana terdapat pada kitab-kitab hadits karya bukhori muslim, karena kebutuan kejelasan tantang periwayatan hadist pada saat itu belum muncul antara Imam Malik dan nabi SAW masih dekat.
Ahli hadist menyipulkan bahwa hadist dalam muwatha’ terdiri atas 600 hadist musnad , 222 hadist mursal, 613 manquf dan 285 hadist maqtu’. Tetapi , semua hadist mursal atau munqoti’ yang terdapat dalam muwatta’ dapat diperkuat keberadaanya dengan riwayat lain, sehingga hadist tersebut menjadi shahih semua.
Adapun tingkat dan derajat hadist hadist al muwatha berbeda beda ada diantaranya ada yang shahih, ada yang hasan, dan ada pula yang dhaif. Tetapi jika kita tilik dengan kacamata pengarangnya sendiri, yakni imam malik maka semua isinya dipandang shahih, dapat juga dijadikan hujjah. Asy syafi’i pernah berkata : kitab yang paling shahih sesudah Qur’an ialah Al Muwatha’ .
B. Al Musnad Susunan Al Imam Asy Syafi’i
Al musnad susunan asy syafi’i kumpulan hadist yang diriwayatkan oleh asy syafi’i dan dipakai sebagai hujjah dalam kitabnya Al-Umm. Tegasnya, musnad ini adalah kumpulan hadits – hadits yang terdapat dalam Al Umm.
Menurut pentahkikan al Biqay, musnad ini bukan susunan asy syafi’i sendiri tetapi dIketik dari al Umm, alaludikumpulkan dalan kitab tersendiri oleh al asham. Musnad ini telah di syarah oleh ibnul atsir (504 H) syarahnya itu bernama asy syafi’i.
Abu Abdullah Muhammad bin Idris, lebih terkenal dengan sebutan Imam Syafii. Ia lahir di Ghaza pada 767 M, ayahnya meninggal saat ia masih kanak-kanak, dan dibesarkan oleh ibunya dalam kemiskinan. Beliau belajar Hadits dan Fiqih dari Muslim Abu Khalid Al-Zinyi dan Sufyan Ibn Uyayna. Ia hafal kitab Muwatta di hadapan Imam Malik yang menerimanya sebagai murid.
Ia berpetualang mencari ilmu ke Kairo, Baghdad, Yaman dan menyebarkannya. Daya ingatannya yang kuat dan ketajamannya berfikir membuat banyak orang ingin tahu dan belajar padanya. Ia dianggap pendiri Usul al-Fiqih. Ijtihad-itjihadnya banyak digunakan kaum muslimin saat itu maupun sekarang.

C. Musnad Hambali
Ahmad mewariskan karya monumentalnya, berupa kitab al-Musnad, kitab sebanyak 20 jilid (ini setelah dirangkai, disusun dan direpisi oleh anaknya dan murid-muridnya), kitab ini memuat ribuan hadits. Imam Ahmad sendiri termasuk hafizh dalam bidang hadits .
Imam Ahmad menghimpun al-Musnad dan meneliti haditsnya, dan menyandarkan hadit - haditsnya dari kalangan sahabat serta mengkhususkan setiap sahabat satu musnad. Selain itu, setelah ia mencatat dan mengkomparasikannya dengan al-Qur’an.
Imam Ahmad menulis al-Musnad sangat lama sekali, hal ini ia lakukan hingga menjelang usia senjanya. Ia menulis Musnad secara terpisah-pisah, yang kemudian dirangkai dan disusun oleh anaknya Abdullah dan Shalih bin Ahmad serta beberapa muridnya.
Dalam al-Musnad memang semuanya bukan hadits yang shahih, terdapat juga hadits-hadits yang dha’if. Hal ini sebagaimana yang Ia ungkapkan: “dalam menulis kitab al-Musnad ini, saya bermaksud menghimpun hadits-hadits yang masyhur, sehingga apabila aku bermaksud untuk meriwayatkan seluruh hadits yang shahih menurutku. Maka saya tidak meriwayatkan Musnad ini kecuali sejumlah kecil hadits saja, akan tetapi, aku tidak meninggalkan hadits yang dha’if, jika dalam bab yang bersangkutan tidak ada hadits yang mewakilinya”.
Dari sini jelas adanya bahwa dalam Musnad itu terdapat hadits yang dhai’if, hal ini sebagaimana diakui oleh Imam Ahmad sendiri.
Selain itu, dalam ashah-ul asânîd (sisilatu sanad) Imam Ahmad berbeda dengan Imam-imam sesudahnya, seperti Imam Bukhari. Artinya, ashah-ul asanîdnya Imam Ahmad berbeda dengan ashah-ul asânîd-nya Imam Bukhari. Seperti asha-ul asânîd-nya Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawayh ialah Zuhri dari Salim dari bapaknya. Sementara Imam Bukhari ialah Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar.
Dalam Musnadnya Imam Ahmad menghimpun 18 musnad dari 66 jalan. Sebanyak inilah sanad yang dihimpun oleh Imam Ahmad. Musnad Al-Kabir ini berisi 30000 hadis, sebagai hasil menyaring lebih dari 750 000 hadis. Tetapi sebagian ulama menyebut bahwa di dalamnya ada juga hadis-hadis yang lemah.
Imam Ahmad, selain sebagai seoarang muhaddits, juga ia terlkenal sebagai seorang fuqaha (ahli fiqh) dan menjadi salah satu Imam dari Madzhab Hanbali. Ahmad bin Hanbal menjadikan konsep hukumnya dengan lima langkah. Pertama, al-Qur’an. Hal ini sebagaimana firman-Nya:
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-Qur’an.
Kedua, sunnah. Ketiga, Ijma ahlul aqdi wal hilli. Keempat, perkataan sahabat, hal ini di sandarkan dari hadits: “sahabat-sahabatku seperti bintang, jika kamu mengikutinya pasti akan memberikan petunjuk terhadap kamu”. Kelima, Qiyâs. Imam ahmad juga mengingkari konsep Istihsân Karya monumentalnya ialah al-Musnad. Madzhab ini banyak tersebar di negara Saudi Arabia.

BAB III
PENUTUP



KESIMPULAN
1. Tingkatan kitab hadist :
- Kitab Hadits ash-Shahih
- Kitab-kitab Sunan
- Kitab-kitab Musnad
2. Al muwatha yang paling terkenal dari kitab-kitab hadist abad ke dua dan mendapat sambutan yang besar sekali dari para ulama. Dia mengandung rangkaian kabar dari nabi, dari sahabat dan dari tabi’in.Adapun tingkat dan derajat hadist hadist al muwatha berbeda beda ada diantaranya ada yang shahih, ada yang hasan, dan ada pula yang dhaif. Tetapi jika kita tilik dengan kacamata pengarangnya sendiri, yakni imam malik maka semua isinya dipandang shahih, dapat juga dijadikan hujjah.
3. Al musnad susunan asy syafi’i kumpulan hadist yang diriwayatkan oleh asy syafi’i dan dipakai sebagai hujjah dalam kitabnya Al-Uma. Tegasnya, musnad ini adalah kumpulan hadits – hadits yang terdapat dalam Al Uma
4. Musnad imam hambali adalah kitab al-Musnad, kitab sebanyak 20 jilid (ini setelah dirangkai, disusun dan direpisi oleh anaknya dan murid-muridnya), kitab ini memuat ribuan hadits. Imam Ahmad sendiri termasuk hafizh dalam bidang hadits .Dalam Musnadnya Imam Ahmad menghimpun 18 musnad dari 66 jalan. Sebanyak inilah sanad yang dihimpun oleh Imam Ahmad. Musnad Al-Kabir ini berisi 30000 hadis, sebagai hasil menyaring lebih dari 750 000 hadis. Tetapi sebagian ulama menyebut bahwa di dalamnya ada juga hadis-hadis yang lemah.

DAFTAR PUSTAKA

1. http://members.tripod.com
2. http://www.islamuda.com
3. Hasbi As-shiddiqie, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist(Jakarta : Bulan Bintang 1976)
4. Drs. Moh. Shoim, Buku Ajar Ulumul Hadist, Tulungagung : Pusat Penerbitan dan Publikasi Sekolah tingi Agama Islam Negeri, 2000
5. Muhammad hasbi Asy Syiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, Pustaka Rizki Putra : Semarang 1997
6. Republika.co.id
7. Abdurahman asy-Syarqawi, Kehidupan, Pemikiran, dan Perjuangan 5 Imam Madzhab Terkemuka. Al-Bayan Kelompok Penerbit Mizan, Cetakan Pertama, Nopember 1994.
read more “Pra Kutubus Sittah”

Kutubus Sittah

1 komentar
BAB I
PENDAHULUAN


Dalam makalah minggu yang lalu kita telah membahas tentang Ulumul Hadits ini, artinya kita telah sedikit banyak mengetahui tentang ilmu-ilmu hadits lewat pembahasan yang lalu, diantaranya tentang pembahasan pra kutubus sittah alih tema kita.
Pada kesempatan ini pembahas berikutnya akan mengetengahkan tentang kutubus sitah (kitab yang enam), yang merupakan kitab pokok dari kitab-kitab hadits yang sebelumnya telah disebutkan. Karena banyak sekali kitab hadits yang disusun dalam ilmu Hadits Riwayat, sebagian berkembang dalam masyarakat, dan sebagian lagi belum berkembang karena masih belum masuk kepercetakan. Berkembangnya kitab-kitab hadits ini dalam satu kitab.
Ass Syuyuthi dalam kitabnya Jamiu Jawami’ telah berdaya upaya mengumpulkan segala hadits hasilnya telah terkumpul 100.000 hadits, akan tetapi beliau wafat sebelum dapat menyempurnakan.
Dari sini penulis berusaha untuk memberikan catatan bahwa ternyata hadits yang jumlahnya ribuan tersebut tidak serta merta dapat kita peroleh dengan satu kitab dalam pembahasannya. Oleh karena itu pembahasan tentang kutubus sitah ini semoga dapat menambah hasanah keilmual kita sebagai seorang pembelajaran, semoga kita tercerahkan!

BAB II
PEMBAHASAN

Nama-nama Kitab Enam
Para ulaman Mutaakhkhirin sependapat menetapkan, bahwa kitab pokok, lima buah, yaitu:
1. Shahib Al Bukhary
2. Shahih Muslim
3. Sunan Abu Daud
4. Sunan An Nasa-y
5. Sunan At Turmudzy
Kitab yang lima tersebut di atas mereka namai “Al ushul ‘l-Khamsah” atau “Al Kutubu ‘I-Khamsah”.
Sebagian ulama Mutaakhkhirin, yaitu Abdul Fadlli ibn Thahir, menggolongkan pula kedalamnya sebuah kitab pokok lagi, sehingga terkenallah di dalam masyarakat “Al Kutubu ‘I-Sittah” (Kitab Enam). Beliau memasukkan Sunan Ibnu Majah menjadi kitab pokok yang ke enam. Pendapat beliau ini diikuti oleh Abdul Ghani Al-Maqdisi, kemudian Al-Mizzi, kemudian Al-Hafidh Ibnu Hajar dan Al-Khazraji. Kitab yang lima ini telah mengumpulkan 95% hadish yang mengenai hukum, yang 5% lagi dikumpulkan oleh beberapa kitab shahih yang disusun dalam abad ke IV.

Nilai dan Keadaan Kitab Enam
I. Shahih Al Bukhary
Shahih Al Bukhary, adalah kitab yang mula-mula yang membukukan hadits-hadits shahih. Kebanyakan ulama hadits telah sepakat menetapkan bahwa Shahih Al Bukhary itu adalah shahih-shahih kitab sesudah Al-Qur’an.
Tegasnya, ialah pokok pertama dari kitab-kitab pokok hadits. Al Bukhary menyelesaikan Shahihnya dalam waktu 16 tahun. Setiap beliau hendak menulis sebuah hadits, beliau mandi dan beristikharah. Beliau menamainya dengan “Al Jami’u ‘sh-Shahih Al Musnandu min hadistsi Rosul s.a.w. Isinya berjumlah 9082 buah hadits marfu’ dan sejumlah hadits mauquf dan maqthu”.
Ibnush Shalah menetapkan bahwa bilangan hadits Al Bukhary ada 7275 buah hadits dengan berulang-ulang. Kalau tidak berulang-ulang ada 4000 buah hadits. Hitungan Ibnu Shalah ini diikuti oleh An Nawawy.
Ad Daraquthny telah menyisihkan 110 buah hadits. 30 buah diantaranya disetujui oleh Muslim. 75 buah hadits diriwayatkan oleh Al Bukhary sendiri. Penyaringan ini telah dibantah oleh Ibnu Hajar dalam muqaddamah fathu “I-Bari” sebagian bantahannya itu dapat diterima secara ilmiah.
Sesungguhnya, tak ada kitab pun yang mendapat perhatian besar, sebesar perhatian yang diperoleh oleh shahih Al-Bukhary. Lantaran itu, didapatkan syarahnya sebanyak 82 buah. Syarah-syarah itu ada yang panjang, ada yang ringkas, ada yang sedang-sedang.
Diantaranya ialah ‘A’lamu’s Sunan, susunan Al Khaththby (388 H). Al Kawakibu d-Darari, susunan Muhammad ibn Yusuf Al Kirmany (775 H). Syarah yang banyak tersebar dalam masyarakat, Irsyadu’s-Sari, karangan Ahmad ibn Muhammad Al Mishry Al Qashtalany (851 H – 923 H).
Di antara semuanya itu, hanya empat buah saja yang terpandang tinggi dari segaja jurusan :
1. At Tanqih, karangan Badruddin Az Zakasyy
2. At Tawsyih, karangan Jalaluddin As Sayuthy
3. Umadatul Qari, karangan Badrudin Al ‘Ainy
4. Fat-hul Bari, karangan Syihabuddin Al’Aaqalany
Fat-hul Barilah, yang merupakan kitab yang terbaik di antara keempat kitab di atas, sehingga digelarkan “Raja Syarah Bukhary”.
Di samping dibuat syarah-syarah terhadap buku Shahih Bukhary, dibuat pula mukhtasarnya (ringkasannya). Mukthasar yang terbaik, adalah: “At Tajridu” sh-Shahih” susunan Al Husain ibn Al Mubarak (631 H).
Sebagian sarjana menetapkan, bahwa At Tajridu’sh-Shahih ini, susunan Abdul Abbas Syarafuddin Ahmad Asy Syarajy Az Zabidy, yang diselesaikannya dalam tahun 889 H. Dalam tahun 893 H, beliau berpulang.
Kitab shahih Al-Bukhari, Ishaq Ibn Ruhawaih salah seorang guru Imam Al-Bukhary pernah berwasiat kepadanya “Hendaklah engkau menyusun sebuah kitab yang khusus berisi sunnah rasul yang sahih”. Wasiat keinginan gurunya inilah yang mendorong dan mengilhami Imam Al-Bukhary untuk menyusun sebuah kitab yang berbeda dari kitab-kitab yang telah disusun oleh ulama sebelumnya, yaitu dengan cara hanya membukukan hadits-hadits yang sahih saja. Untuk itu kitab susunannya ia beri judul dengan nama Al-Jami’ Al-Musnad, Al Sahih, Al Mukhtasar min Umur Rasul Allah Saw was Sunnih wa Ayyamih .

II. Shahih Muslim
Kitab ini menjadi menjadi kitab pokok kedua. Sesudah Shahih Bukhary, Shahih Muslimah yang dijadikan pedoman. Shahih muslim lebih baik susunannya daripada shahih Al-Bukhary, karena itu lebih mudah kita mencari hadits di dalamnya, daripada mencari di dalam Shahih Al Bukhary.
Muslim menempatkan hadits-hadits wudhu’ umpamanya seluruhnya dibagian wudhu’ tidak berserak-serak di sana-sini seperti halnya Shahih Al Bukhary. Diriwayatkan dari muslim isi shahihnya sejumlah 7275 buah hadits dengan berulang-ulang. Kitab-kitab syarahnya, bahwa banyak juga. Ada sejumlah 15 buah, yang amat terkenal ialah:
1. Al Mu’ihn bi Fawa-idi Muslim, karangan Al Mazary (536 H)
2. Al Ikmal, karangan Al Qadli ‘Iyadl (544 H)
3. Minhaju’ I-Muhadditsi, karangan An Nawawy (676 H)
4. Ikhmalul Ikmal, karangan Az Zawawy (744 H)
5. Ikhmalul Ikmali Mu’lim, karangan Abu Abdillah Muhammad Al Abiyy Al Maliky (927 H)
Sebagian di Mukhtasarnya ialah Mukhthasar Al Mundziry. Di antara yang mengikhtisarkannya pula ialah Al Qurthuby (656 H) yang disyarahkan kembali olehnya dalam kitabnya Al Mufhim. Zawaidnya telah dikumpul dan disyarahkan oleh Ibnu ‘I-Mulaqqim (804 H).
Kitab himpunan hadits sahih karya Muslim ini judul aslinya ialah al-Musnad al-sahih al-Mukhtasar min al-Sunna bi al-Naql al ‘Aal ‘al-adl’an Rasul Allah saw, namun lebih dikenal dengan nama al-Jami’ al-Sahih atau Sahih Muslim.
Penyusunan kitab ini memakan waktu lima belas tahun. Imam Muslim mengerjakan proyek monumental ini secara terus menerus. Proses persiapan dan penyusunan kitabnya itu beliau lakukan baik ketika sedang berada di tempat tinggalnya maupun dalam perlawatan ke berbagai wilayah. Dalam penggarapannya itu, beliau menyeleksi ribuan hadits baik dari hafalannya maupun catatannya. Informasi lain menyatakan bahwa kitab al-Jami’ al sahih atau Sahih Muslim ini merupakan hasil dari sejumlah 300.000 hadits.

III. Sunan An Nasa’y
Sunan ini bernama Al Mujtaba mina ‘I-sunan (sunan-sunan pilihan). Sunan ini dinamai Al Mujtaba karena pada mula-mulanya An Nasa-y menyusun sunannya yang lebih besar lalu memberikannya kepada seorang Amir di Ar Ramlah. Amir itu bertanya : “Apakah isi sunan ini shahih seluruhnya?” Jawab An Nasa-y: ‘Isinya ada yang shahih, ada yang hasan dan ada yang hampir serupa dengan keduanya”. Sesudah itu An Nasa-y pun menyaring sunannya dan menyalin shahih saja dalam sebuah kitab yang lain dengan menamainya Al Mujtaba’. Kedudukannya di bawah derajat Shahih Muslim, karena hadits yang dla’if sedikit sekali terdapat di dalamnya.

Di antara sarjana yang mensyarahkannya, ialah As Sayuthy dan As Sindy. Telah disebutkan di atas bahwa al-Nasa’i telah menyusun kira-kira 15 buah karya besar yang berhubungan dengan bidang keilmuan hadits dan ilmu-ilmu lain yang berhubungan dengan hadits, dan diantara karyanya yang paling terkenal adalah Kitab Al-Sunnan.
Dalam menyebutkan hadits di dalam kitabnya, al-Nisa’i tidak menyebutkan satu hadits pun dari orang yang notabene ditolak periwayatannya oleh ulama-ulama hadits dan tidak mempercayai periwayatannya, sehingga dengan demikian kitabnya hanya berisi hadits sahih, hasan dan da’if. Khusus dalam kitab hadits al-Sunan (dikenal dengan Sunan an-Nasa’i) yang merupakan ringkasan dan seleksi dari kitab al-Sunan al-Kubra, tidak terdapat hadits yang berkualitas daif dan kalaupun ada, itu sangat kecil jumlahnya dan sangat jarang sekali.
Kitab al-Sunan ini sederajat dengan Sunan Abu Dawud, atau sekurang-kurangnya mendekati satu tingkatan kualitas yang sama dengan Sunan Abu Dawud, dikarenakan al-Nasa’i sangat teliti dalam meriwayatkan dan menilai suatu hadits. Hanya saja, karena Abu Dawud lebih banyak perhatiannya kepada muatan-muatan hadits yang ada tambahannya, dan lebih terfokus pada hadits-hadits yang banyak diperlukan oleh para fuqaha, maka Sunan Abu Dawud lebih diutamakan sedikit dari Sunan Al-Nasa’i. Oleh karenanya, Sunan Al-Nasa’i ditempatkan pada tingkatan kedua setelah Sunan Abu Dawud dalam deretan kitab-kitab hadits al-Sunan.

IV. Sunan Abu Daud
Kata Al Khaththaby di dalam kitab Ma’allimu’s Sunan”, mengatakan bahwasannya Sunan Abu Daud itu sebuah kitab yang sukar ada tandingnya dalam masalah agama, yang telah diterima baik oleh seluruh ulama Islam.
Kata Abu Daud sendiri, “Aku telah menulis hadits Rasul sebanyak 500.000 hadits, kemudian aku pilih sejumlah 4800 lalu aku masukkan ke dalam kitab ini”.
Hadits yang amat lemah atau tidak sah sanadnya aku terangkan di akhirnya. Tak kusebut dalam kitab ini hadits-hadits yang ditolak oleh seluruh orang, dan yang tak kukatakan apa-apa berarti: hadits yang baik.
Sunan Abu Daud berisi hadits hukum; sedikit saja yang berhubungan dengan urusan-urusan lain. Kata Al Ghazzaly: “Sunan Abu Daud cukup buat pegangan seorang mujtahid”. Syarahnya banyak, sebagian dari padanya: “Ma’alimu’s Sunan karangan Al Khaththaby dan Aunul Ma’Bud, karangan seorang ahli hadits yang terkenal di India, yaitu Abu ‘I-Thalib Syamsul Haq-Adhiem Abady.
Dan sebagus-bagus mukhtasarnya, ialah Al Mujtaba’ susunan Al Mundziry yang telah disyarahkan oleh As Sayuthy, Al Mujtaba’ itu telah disaring oleh Ibnul Qaiyim Al Jauziyah. Saringan itu dinamai Tahdzibu’s-Sunan. Sunan Abu Daud ini dipandang pokok keempat. Zawaidnya atas Al Bukhary Muslim telah disyarahkan oleh Ibnu Ulaqqim

V. Sunan At Turmudzy
Kata penyusunannya, At Turmudzy: “Aku tidak memasukkan ke dalam kitab ini melainkan hadits yang sekurang-kurangnya telah diamalkan oleh sebagian fuqaha” .
Beliau menulis hadits dengan menerangkan yang shahih dan yang tercatat serta sebab-sebabnya sebagaimana beliau menerangkan pula mana-mana yang diamalkan dan mana-mana yang ditinggalkan.
Sunan At Turmudzy besar faedahnya, tinggi derajatnya dan isinya jarang berulang-ulang. Sebagian Syarahnya ialah: Syarah As Sayuthy dan As Sindy. Syarahnya yang paling besar, ialah “Aridlatul Ahwadzy” karangan Ibnul “Araby Al Maliky. Dan sebagian dari mukhtasarnya, ialah: Mukhtasar Al Jami”, karangan Najmuddin Ibnu’ Aqil. Sunan At Turmudzy ini dipandang sebagai kelompok yang kelima. Zawaidnya atas Shahihain dan Abu Daud telah disyarahkan oleh Ibnul Mulaqqim.
VI. Sunan Ibnu Majah
Sunan ini di bawah dari pada segala kitab yang tersebut di atas. Ibnu Thahir Al Maqdsy, memandang sunan ini pokok yang keenam. Sebagian ulama memandang Al Muwaththa’ sebagai pokok yang keenam.
Ada pula yang memandang pokok yang keenam , sunan Ad Darimy. Dan ada yang menetapkan pokok yang keenam, Al Muntaqa susunan Ibnu Jarud.
Yang mula-mula menjadikan sunan ini kitab yang keenam, ialah Ibnu Thair Al Maqdisy, kemudian dituruti oleh Al Hafidh Abdul Ghany Al Maqdisy dalam kitab Al Ikmal. Mereka mendahulukan sunan ini atas Al Muwaththa’, karena banyak zawaidnya atas kitab lain.
Razin Al Sarqasthy menjadikan Al Muwaththa’ kitab yang keenam dan inilah yang dimaksud dengan kitab enam oleh Ibnul Atsir dalam kitab Jami’ul Ushul.
Sebagian dari syarah Sunan Majah ialah: Mishbahul’z Zujajah, karangan As Sayuthy dan syarah As Sindy. Hadits yang hanya diriwayatkan sendiri oleh Ibnu Majah kebanyakan dla’if. Hal ini dapat diketahui dengan penerangan syarah-syarahnya. Zawaid-zawaidnya atas kitab lima telah disyarahkan oleh Ibnul Mulaqqim. Syarah ini dinamai: Ma tamussu ilaihi ‘I hajah ‘ala Sunani Ibnu Majah.

BAB III
KESIMPULAN

Nama-nama Kitab Enam
Ulama-ulama Mutaakhkhirin sependapat menetapkan bahwa kitab pokok lima buah, yaitu:
1. Shahib al Bukhary
2. Shahih Muslim
3. Sunan Abu Daud
4. Sunan An Nasa-y
5. Sunan At Turmudzy
Kitab yang lima tersebut di atas mereka namai “Al ushul ‘l-Khamsah” atau “Al Kutubu ‘I-Khamsah”. Sebagian ulama Mutaakhkhirin , yaitu Abdul Fadlli ibn Thahir, menggolongkan pula kedalamnya sebuah kitab pokok lagi, sehingga terkenallah di dalam masyarakat “Al Kutubu ‘I-Sittah” (Kitab Enam). Beliau memasukkan Sunan Ibnu Majah menjadi kitab pokok yang ke enam.
Shahih Al Bukhary, adalah kitab yang mula-mula yang membukukan hadits-hadits shahih. Kebanyakan ulama hadits telah sepakat menetapkan bahwa Shahih Al Bukhary itu adalah shahih-shahih kitab sesudah Al-Qur’an.
Shahih Muslim ini kitab yang kedua, pokok yang kedua dari kitab-kitab hadist yang menjadi pegangan. Sesudah Shahih Bukhary, Shahih Muslimah yang dijadikan pedoman. Shahih muslim lebih baik susunannya daripada shahih Al-Bukhary, karena itu lebih mudah kita mencari hadits di dalamnya, daripada mencari di dalam Shahih Al Bukhary.
Sunan ini bernama Al Mujtaba mina ‘I-sunan (sunan-sunan pilihan). Sunan ini dinamai Al Mujtaba karena pada mula-mulanya An Nasa-y menyusun sunannya yang lebih besar lalu memberikannya kepada seorang Amir di Ar Ramlah. Amir itu bertanya : “Apakah isi sunan ini shahih seluruhnya?” Jawab An Nasa-y: ‘Isinya ada yang shahih, ada yang hasan dan ada yang hampir serupa dengan keduanya”.
Hadits yang amat lemah atau tidak sah sanadnya aku terangkan di akhirnya. Tak kusebut dalam kitab ini hadits-hadits yang ditolak oleh seluruh orang, dan yang tak kukatakan apa-apa berarti: hadits yang baik.
Sunan Abu Daud berisi hadits hukum; sedikit saja yang berhubungan dengan urusan-urusan lain. Kata penyusunannya, At Turmudzy: “Aku tidak memasukkan ke dalam kitab ini melainkan hadits yang sekurang-kurangya telah diamalkan oleh sebagian fuqaha.
Sunan ini di bawah daripada segala kitab yang tersebut di atas. Ibnu Thahir Al Maqdsy, memandang sunan ini pokok yang keenam.

DAFTAR RUJUKAN

Abdurrahman. Studi Kritik Hadits. Jakarta: Teras. 2005.

A. Yamin. Metodologi Kritis Hadits. Jakarta: Pustaka Hidayah. 1992

Hasbi Ash-Shiddieqyi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang. 1990

Munzier Suparta. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003

Subhi Al-Salih. Ulum Al-Hadits wa Mustalahuh. Bairut: Daral-ilm li al-Malaiyin. 1977.
read more “Kutubus Sittah”

Kuantitas Hadits

0 komentar
BAB II
PEMBAHASAN

Hadits ditinjau dari segi jumlah (kuantitas) rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.

1. Hadits Mutawatir
a. Ta'rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:

"Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."

Artinya:
"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.

b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b. Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:

"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64).
3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).

c. Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath'i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
Mengingat hadits mutawatir ini berderajat hukum qoth’i (yaqin dan pasti ) maka meniscayakan mengamalkan dan mempedomaninya. Bahkan mengingkarinya dapat dikatagorikan kufur terhadapnya. ( Ajjaj Al Khotib, Ushul Wal Hadits, 301 )

d. Pembagian Hadits Mutawatir
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1. Hadits Mutawatir Lafzi
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :

"Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya."
Pengertian lain hadits mutawatir lafzi adalah :

"Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi."
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :

"Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka."

Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :

Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
2. Hadits mutawatir maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah :

Artinya :
"Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum."

Artinya:
"Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz."

Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
Contoh :

Artinya :
"Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa' dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya." (HR. Bukhari Muslim)

Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :

Artinya :
"Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau."
3. Hadis Mutawatir Amali
Hadis Mutawatir Amali adalah :

Artinya:
"Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu."

Contoh :
Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian.
Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.
Sebagian di antara mereka mengira bahwa hadits mutawatir tidak ada wujudnya sama sekali. Yang benar (insyaAllah), bahwa hadits mutawatir jumlahnya cukup banyak di antara hadits-hadits yang ada. Akan tetapi bila dibandingkan dengan hadits ahad, maka jumlahnya sangat sedikit.
Misalnya : Hadits mengusap dua khuff, hadits mengangkat tangan dalam shalat, hadits tentang telaga, dan hadits : ”Allah merasa senang kepada seseorang yang mendengar ucapanku…..” dan hadits ”Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf”, hadits ”Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangun untuknya rumah di surga”, hadits ”Setiap yang memabukkan adalah haram”, hadits ”Tentang melihat Allah di akhirat”, dan hadits ”tentang larangan menjadikan kuburan sebagai masjid”.
Mereka yang mengatakan bahwa hadits mutawatir keberadaannya sedikit, seakan yang dimaksud mereka adalah mutawatir lafdhy, sebaliknya…..mutawatir ma’nawy banyak jumlahnya. Dengan demikian, maka perbedaan hanyalah bersifat lafdhy saja.

2. Hadis Ahad
a. Pengertian hadis ahad
Hadis Ahad Menurut bahasa berarti hadis satu-satu. Pengertian hadis ahad, menurut bahasa terasa belum jelas. Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara lain adalah:

Artinya:
"Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir: "
Ada juga yang memberikan ta’rif sebagai berikut:

Artinya:
"Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir."

b. Klasifikasi Hadits Ahad
Kalau kita berbicara hadits ahad, sebenarnya kita sedang membicarakan sebagian besar hadits. Sehingga kita masih leluasa untuk mengklasifikasikannya lagi menjadi beberapa kelompok hadits ahad.
1. Hadits Masyhur
Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah popular. Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih serta belum mencapai derajat mutawatir. Hadits masyhur sendiri masih terbagi lagi menjadi tiga macam, yaitu masyhur di kalangan para muhadditsin dan golongannya; masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu dan masyhur dikalangan orang umum.
Contoh hadis Masyhur:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده. (رواه البخارى ومسلم والترمذى)
Artinya: Rasulullah SAW. Bersabda: "Seorang muslim adalah kaum muslimin yang tidak terganggu oleh lidah dan tangannya." (HR. Bukhari Muslim, dan Tirmizi)
Hadis tersebut sejak tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke tingkat imam-imam yang membukukan hadis (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim, dan Tirmizi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan.
Sebagian ulama, membedakan hadis mustafid dari hadis masyhur, hadis mustafid adalah hadis yang diriwayatkan oleh empat orang rawi atau lebih dan belum mencapai derajat mutawatir, sedangkan hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga rawi.
2. Hadits Aziz
Hadits Aziz menurut bahasa berarti hadis yang mulia atau hadis yang kuat atau hadis yang jarang, karena memang hadis aziz itu jarang adanya. Hadits aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu lapisan saja, kemudian setelah itu orang-orang lain meriwayatkannya.
Contoh hadis Aziz:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: نحن الآخرون فى الدنيا السابقون يوم القيامة. (عن حذيفة وأبوهريرة)
Artinya: Rasulullah SAW. Bersabda: "kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu di hari kiamat." (HR. Hudzaifah dan Abu Hurairah)
Hudzaifah dan Abu Hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadis tersebut adalah dua orang sahabat Nabi. Walaupun pada tingkatan selanjutnya hadis itu diriwayatkan oleh lebih dari dua orang, namun hadis itu tetap saja dipandang sebagai hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan arena itu termasuk hadis aziz.
3. Hadits Gharib
Hadits gharib menurut bahasa berarti hadis yang terpisah atau menyendiri dari yang lain. Hadits gharib adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang (rawi) yang menyendiri dalam meriwayatkan di mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Contoh hadits gharib:
عن عمر ابن الخطاب رضى الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: انما الاعمال بالنيات وانما لكل امرئ مانوى. (رواه الخارى ومسلم وغيرهما)
Artinya: dari Umar bin Khattab, katanya, aku mendengar rasulullah SAW. Bersabda, "Sesungguhnya amal perbuatan itu hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya." (HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain)
Kendati hadis di atas diriwayatkan oleh banyak imam hadis termasuk Bukhari dan Muslim, namun pada tingkatan pertama hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat nabi, yaitu Umar bin Khattab, dan ada tingkatan kedua juga diriwayatkan oleh satu orang tabi'in, yaitu Al-Qamah. Dengan demikian, hadis itu dipandang sebagai hadis yang diriwayatkan oleh satu orang dan termasuk hadis gharib.
Klasifikasi hadits Gharib:
1. Gharib mutlak (Fard),
Terjadi apabila penyendiriannya disandarkan pada perawinya dan harus berpangkal pada tabiin bukan sahabat sebab yang menjadi tujuan dalam penyendirian rawi ini adalah untuk menetapkan apakah ia masih diterima periwayatannya atau ditolak sama sekali.
2. Gharib Nisby
Yaitu apabila penyendiriannya mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi, misalnya:
1. Tentang sifat keadilan dan ketsiqahan rawi
2. Tentang kota atau tempat tinggal tertentu
3. Tentang meriwayatkannya dari rawi tertentu
Jika penyendirian itu ditinjau dari segi letaknya (matan atau sanadkah), maka terbagi menjadi: [1] gharib pada sanad dan matan dan [2] gharib pada sanadnya saja sedangkan matannya tidak

b. Faedah hadis ahad
Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat'i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa "Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud". Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.
Jadi hadits ahad itu bukanlah hadits palsu atau hadits bohong, namun hadits yang shahih pun bisa termasuk hadits ahad juga. Meski tidak sampai derajat mutawatir. Hadits ahad tidak ditempatkan secara berlawanan dengan hadits shahih, melainkan ditempatkan berlawanan dengan hadits mutawatir.

3. Perbedaan Hadis Mutawatir dengan Hadis Ahad
Hal ini perlu kita lakukan untuk mempermudahkan kita memahami tipe kedua hadis tersebut, perbedaan itu antara lain:
a. Dari segi jumlah rawi, hadis mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang jumlahnya sangat banyak pada setiap tingkatan sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil mereka sepakat untuk berdusta, sedangkan hadis ahad diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah yang menurut adat kebiasaan masih memungkinkan mereka untuk sepakat berdusta.
b. Dari segi pengetahuan yang dihasilkan, hadis mutawatir menghasilkan Ilmu Qat’I (pasti) atau ilmu daruri (mendesak untuk diyakini) bahwa hadis itu sungguh-sungguh dari Rasulullah sehingga dapat dipastikan kebenarannya, sedangkan hadis ahad menghasilkan ilmu zanni (bersifat dugaan) bahwa hadis itu berasal dari Rasulullah SAW. Sehingga kebenarannya masih berupa dugaan pula.
c. Dari segi kedudukan, hadis mutawatir sebagai sumber ajaran agama Islam memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada hadis ahad. Sedangkan kedudukan hadits ahad sebagai sumber ajaran Islam berada di bawah kedudukan hadis mutawatir.
d. Dari segi kebenaran keterangan matan, dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadis mutawatir mustahil bertentangan dengan keterangan ayat dalam al-Quran, sedangkan keterangan matan hadis ahad mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan dengan keterangan ayat al-Quran. Bila dijumpai hadis-hadis dalam kelompok hadis ahad yang keterangan matan hadisnya bertentangan dengan keterangan ayat al-Quran, maka hadis-hadis tersebut tidak berasal dari Rasulullah. Mustahil Rasulullah mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang etrkandung dalam al-Quran.
read more “Kuantitas Hadits”