Hukum Warisan Bilateral

KEBERADAAN MAWALI HUKUM KEWARISAN BILATERAL
Oleh : Moh. Mujib Zunun @l_Misri
Program Magister Manajemen Pendidikan Islam
STAIN TULUNGAGUNG

ABSTRAK

Menurut hukum kewarisan bilateral terdapat tiga prinsip kewarisan, yaitu: pertama, ahli waris perempuan sama dengan laki-laki dapat menutup ahli waris kelompok keutamaan yang lebih rendah. Selama masih ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka datuk ataupun saudara baik laki-laki maupun perempuan sama-sama ter-hijab. Kedua, hubungan kewarisan melalui garis laki-laki sama kuatnya dengan garis perempuan. Karenanya penggolongan ahli waris menjadi ashabah dan zawu al-arham tidak diakui dalam teori ini. ketiga, ahli waris pengganti (mawali) selalu mewaris, tidak pernah tertutup oleh ahli waris lain (utama). Jadi, cucu dapat mewaris bersama dengan anak manakala orang tuanya meninggal lebih dulu daripada kakeknya dan bagian yang diterimanya sama besarnya dengan yang diterima oleh orang tuanya (seandainya masih hidup). Keberadaan mawali ini merupakan konsep yang benar-benar baru dalam ilmu faraid (waris) dan lebih mencerminkan keadilan.

Kata kunci: mawali, hukum waris, Sunni, patrilineal, bilateral.



Pendahuluan
Bentuk kekerabatan dalam hukum Islam sangat menentukan azas yang berlaku dalam hukum kewarisan. Dalam al-Qur’an maupun Sunnah memang tidak menjelaskan tentang struktur kekerabatan tertentu menurut hukum Islam. Namun demikian dalam realitasnya kita dihadapkan berbagai macam bentuk susunan kekerabatan, meliputi: patrilineal, matrilineal, dan bilateral , yang masing-masing memiliki implikasi terhadap hukum waris Islam.
Dengan beragam bentuk kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat, bentuk kekerabatan bagaimana yang sesuai dengan hukum waris Islam. Bagi masyarakat Indonesia sistem bilateral dipandang lebih cocok, selain lebih mencerminkan keadilan, juga sesuai dengan semangat al-Qur’an. Sebab hukum waris yang berlaku selama ini adalah patrilineal, berasal dari kalangan Sunni yang banyak dipengaruhi oleh kultur Arab. Sehingga banyak kendala ketika menerapkan pada kultur yang berbeda.
Untuk itu tulisan ini akan membahas sistem kewarisan bilateral, lebih khusus lagi tentang keberadaan mawali dalam sistem kewarisan bilateral.

Hukum Kewarisan Bilateral
Membicarakan tentang kewarisan bilateral tidak bisa dilepaskan dari sosok Hazairin yang dikenal sebagai pencetus ide bentuk kewarisan bilateral. Kiprah Hazairin lebih dikenal dalam bidang ilmu hukum, terlebih dalam hukum adat. Selain itu pengetahuannya tentang tentang hukum Islam juga begitu mendalam. Melalui keahliannya dalam bidang hukum adat dan hukum Islam inilah, senat guru besar Universitas Indonesia mengukuhkan dirinya sebagai guru besar hukum adat dan hukum Islam pada fakultas hukum pada tahun 1952. Dengan keahliannya dalam kedua bidang hukum ini, ia tahu betul bagaimana kondisi hukum Islam di Indonesia bila dikaitkan dengan hukum adat. Teori Receptie yang dicetuskan oleh Snouck Hurgronje pada akhir abad XIX telah menjadikan hukum Islam tersingkir oleh hukum adat. Oleh karena itu Hazairin tidak segan-segan lagi untuk menyebut teori ini sebagai “teori Iblis”. Sebagai sanggahan atas teori ini ia kemudian mencanangkan teori Receptie Exit , yang kemudian ditindak lanjuti oleh muridnya, Sajuti Thalib, SH, dengan teori Receptie a Contrario.
Pemikirannya tentang hukum kewarisan yang terkenal dengan teori hukum kewarisan bilateral menurut al-Qur’an telah dipresentasikan pada tahun 1957. Dalam teori ini Hazairin mempertanyakan kebenaran hukum kewarisan yang dianut kalangan Sunni yang bercorak patrilineal bila dihadapkan dengan al-Qur’an. Dengan keahliannya dalam bidang hukum adat dan antropologi sosial Hazairin mengkaji ayat-ayat tentang perkawinan dan kewarisan. Menurutnya, al-Qur’an hanya menghendaki sistem sosial yang bilateral. Dengan demikian hukum kewarisan yang digariskan di dalamnya juga bercorak bilateral, bukan patrilineal seperti yang biasa dikenal selama ini. Hazairin telah memberikan pemahaman yang baru terhadap hukum kewarisan dalam Islam secara total dan komprehensif dengan asumsi dasar sistem bilateral yang dikehendaki al-Qur’an. Tentu saja sistem ini mempunyai dampak sosial yang luas bila dapat diterapkan dalam kehidupan. Yang menarik, agaknya teori ini lebih dekat dengan rasa keadilan dalam masyarakat kita, bila dibandingkan dengan sistem kewarisan bercorak patrilineal yang selama ini dikenal.
Sistem kewarisan patrilineal yang dianut kalangan Sunni sebenarnya terbentuk dari struktur budaya Arab yang bersendikan sistem kekeluargaan yang bercorak patrilineal. Pada masa terbentuknya fiqh, ilmu pengetahuan mengenai bentuk-bentuk masyarakat belumlah berkembang. Sehingga para fuqaha dalam berbagai mazhab fiqh belum memperoleh perbandingan mengenai berbagai sistem kewarisan dalam berbagai bentuk masyarakat. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila hukum kewarisan yang kemudian disusun bercorak patrilineal.
Menurut fiqh Sunni, terdapat tiga prinsip kewarisan: pertama, ahli waris perempuan tidak dapat menghijab (menghalangi) ahli waris laki-laki yang lebih jauh. Contohnya, ahli waris anak perempuan tidak dapat menghalangi saudara laki-laki. Kedua, hubungan kewarisan melalui garis laki-laki lebih diutamakan daripada garis perempuan. Adanya penggolongan ahli waris menjadi ashabah dan zawu al-arham merupakan contoh yang jelas. Ashabah merupakan ahli waris menurut sistem patrilineal murni, sedangkan zawu al-arham adalah perempuan-perempuan yang bukan zawu al-faraid dan bukan pula ashabah. Ketiga, tidak mengenal ahli waris pengganti, semua mewaris karena dirinya sendiri. Sehingga cucu yang orang tuanya meninggal lebih dulu daripada kakeknya, tidak akan mendapat warisan ketika kakeknya meninggal. Sementara saudara-saudara dari orang tua sang cucu tetap menerima warisan.
Menurut pengamatan Hazairin, sistem kewarisan sunni yang bercorak patrilineal tersebut kurang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat di Indonesia yang umumnya bercorak bilateral. Bagi masyarakat patrilineal seperti Batak, bukan berarti tidak ada konflik dengan sistem kewarisan kalangan sunni. Apalagi bagi masyarakat matrilineal seperti Minangkabau, tentu lebih berat lagi untuk menerima sistem kewarisan ini. Hal inilah yang menggugah Hazairin untuk memikirkan sistem bagaimanakah yang dikehendaki oleh al-Qur’an. Menurutnya, tidak mungkin al-Qur’an memberikan ketentuan yang tidak adil. Berdasarkan pengamatannya terhadap beberapa ayat tentang perkawinan dan kewarisan akhirnya dia mempunyai keyakinan bahwa al-Qur’an menghendaki sistem kekeluargaan yang bilateral.
Adapun dasar yang mendukung teorinya adalah Q.S. al-Nisa (4): 22-24, juga didukung oleh ayat-ayat 11, 12, 176 dalam surat yang sama. Dari ayat 22-24 diperoleh petunjuk bahwa semua bentuk perkawinan sepupu tidaklah dilarang, baik cross-cousins maupun parallel cousins . Dengan dibolehkannya perkawinan sepupu ini berarti tanggallah syarat exogami yang menjadi benteng bagi sistem clan dalam masyarakat yang patrilineal dan matrilineal. Jika clan telah tumbang maka timbullah masyarakat yang bercorak bilateral. Ayat 11 menjadikan semua anak, baik laki-laki maupun perempuan sebagai ahli waris bagi ayah dan ibu. Hal ini merupakan bentuk sistem bilateral, karena dalam patrilineal prinsipnya hanya anak laki-laki yang berhak mewaris sedangkan dalam sistem matrilineal anak-anak hanya mewaris dari ibunya, tidak dari bapaknya. Kemudian ayat 12 dan 176 juga mendukung sistem bilateral, yaitu dengan menjadikan saudaranya ahli waris bagi saudaranya yang mati punah (tak berketurunan), tidak dibedakan apakah saudara itu laki-laki atau perempuan.
Berikutnya ayat 7, 8, 11, 12, dan 176 memberikan ketentuan bahwa sistem kewarisan yang dikehendaki oleh al-Qur’an di samping bilateral adalah individual. Maksudnya masing-masing ahli waris berhak atas bagian yang pasti dan bagian-bagian tersebut wajib diberikan kepada mereka. Di sini terdapat istilah nasiban mafrudan, fa atuhum nasibuhum, al-qismah, di samping terdapat bagian-bagian tertentu (furud al-muqaddarah) dalam ayat-ayat tersebut. Jadi sistem kewarisan yang dikehendaki dalam al-Qur’an adalah individual bilateral. Dengan teorinya ini Hazairin agaknya ingin mengajak umat Islam untuk memperbaharui pemahaman terhadap ayat-ayat tentang kewarisan.

Keberadaan Mawali
Adapun ide pembaharuan dalam ilmu waris yang dicetuskan Hazairin pada intinya berintikan: pertama, ahli waris perempuan sama dengan laki-laki dapat menutup ahli waris kelompok keutamaan yang lebih rendah. Jadi, selama masih ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka datuk ataupun saudara baik laki-laki maupun perempuan sama-sama ter-hijab. Kedua, hubungan kewarisan melalui garis laki-laki sama kuatnya dengan garis perempuan. Karenanya penggolongan ahli waris menjadi ashabah dan zawu al-arham tidak diakui dalam teori ini. ketiga, ahli waris pengganti selalu mewaris, tidak pernah tertutup oleh ahli waris lain (utama). Jadi, cucu dapat mewaris bersama dengan anak manakala orang tuanya meninggal lebih dulu daripada kakeknya dan bagian yang diterimanya sama besarnya dengan yang diterima oleh orang tuanya (seandainya masih hidup).
Berdasarkan teori ini Hazairin membagi ahli waris menjadi tiga kelompok, yakni: zawu al-faraid, zawu al-qarabat, dan mawali. Zawu al-faraid adalah ahli waris yang telah ditetapkan bagiannya dalam al-Qur’an. Dalam hal ini hampir seluruh mazhab fiqh menyepakatinya, baik Sunni maupun Syiah. Bagian mereka ini dikeluarkan dari sisa harta setelah harta peninggalan dibayarkan untuk wasiat, hutang, dan biaya kematian. Adapun zawu al-qarabat adalah ahli waris yang tidak termasuk zawu al-faraid menurut sistem bilateral. Bagian mereka dikeluarkan dari sisa harta peninggalan setelah dibayar wasiat, hutang, onkos kematian, dan bagian untuk zawu al-faraid. Sedangkan mawali adalah ahli waris pengganti, yang oleh Hazairin konsep ini di-istinbat-kan dari Q.S. al-Nisa (4): 33. Adanya mawali (ahli waris pengganti) ini merupakan konsep yang benar-benar baru dalam ilmu faraid (waris).
Yang dimaksud mawali (ahli waris pengganti) di sini adalah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang akan digantikan tersebut. Hal ini terjadi karena orang yang digantikan tersebut telah meninggal lebih dulu daripada si pewaris. Orang yang digantikan ini merupakan penghubung antara yang menggantikan dengan pewaris (yang meninggalkan harta warisan). Adapun yang dapat menjadi mawali yaitu keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris, ataupun keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian (misalnya dalam bentuk wasiat) dengan si pewaris.
Selanjutnya secara rinci Hazairin membuat pengelompokan ahli waris kepada beberapa kelompok keutamaan secara hierarkhis, berdasarkan ayat-ayat kewarisan (Q.S. al-Nisa (4): 11,12,33, dan 176), sebagai berikut:
1. Keutamaan pertama: anak, mawali anak, orang tua, dan duda atau janda.
2. Keutamaan kedua: saudara, mawali saudara, orang tua, dan duda atau janda.
3. Keutamaan ketiga: orang tua dan duda atau janda.
4. Keutamaan keempat: janda atau duda, mawali untuk ibu dan mawali untuk ayah.
Masing-masing ahli waris dalam keutamaan ini berbeda-beda statusnya, ada yang sebagai zawu al faraid dan ada pula yang sebagai zawu al qarabat.
Setiap kelompok keutamaan di atas dirumuskan secara komplit, artinya kelompok keutamaan yang lebih rendah tidak dapat mewaris bersama-sama dengan kelompok keutamaan yang lebih tinggi. Karena kelompok keutamaan yang lebih rendah tertutup oleh kelompok keutamaan yang lebih tinggi. Inti dari kelompok keutamaan pertama adalah adanya anak dan atau mawali-nya. Tidak adanya anak dan atau mawali-nya berarti bukan kelompok keutamaan pertama. Inti kelompok keutamaan kedua adalah adanya saudara dan atau mawali-nya. Sedang inti dari kelompok keutamaan ketiga adalah adanya ibu dan atau bapak. Adapun janda atau duda meskipun selalu ada dalam setiap kelompok keutamaan, ia menjadi penentu bagi kelompok keutamaan keempat. Demikianlah cara kewarisan bilateral menyelesaikan persoalan waris jika terdapat ahli waris yang cukup banyak dan lengkap.
Dengan sistem kelompok keutamaan seperti yang dikemukakan oleh Hazairin ini, saudara dapat mewaris bersama dengan orang tua (bapak ataupun ibu), suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada hukum kewarisan Sunni yang bercorak patrilineal. Di samping itu tidak mungkin menjadikan ayah dari ayah atau ibu dari ayah sebagai zawu al-faraid, demikian pula terhadap cucu perempuan, seperti dalam sistem ilmu waris kalangan Sunni. Problem kasus kewarisan yang dianggap rumit, seperti ahli waris kakek bersama saudara (al-jadd ma’a ikhwan) yang banyak memunculkan variasi pendapat dalam sistem Sunni tidak akan pernah terjadi dalam sistem bilateral.

Tanggapan Pro dan Kontra
Gagasan tentang sistem kewarisan bilateral yang dicetuskan Hazairin ternyata mendapat tanggapan pro dan kontra di kalangan umat Islam Indonesia. Fenomena ini merupakan hal yang wajar apabila ada yang masih belum bisa menerima ide pembaharuan yang dia kemukakan. Apalagi dengan mendekontruksi sesuatu yang telah lama mapan, akan sulit diterima meskipun hal yang baru ini cukup rasional dan argumentatif. Namun bukan berarti mereka yang menolak termasuk tidak rasional. Mereka yang menolak di samping didasarkan pada pengetahuan tentang sistem kewarisan yang selama ini mereka ketahui, juga tidak sedikit pula yang mensikapi dengan penuh curiga terhadap sesuatu yang dianggap baru.
Meskipun pada awalnya banyak terjadi penolakan, namun tidak sedikit pula yang bersimpati dan mendukung ide kewarisan bilateral ini. Bahkan dewasa ini hampir setiap kali menbahas tentang ilmu waris hampir tidak melepaskan pemikiran Hazairin. Barangkali penolakan yang terjadi terhadap sistem kewarisan bilateral lambat laun berkurang seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan terbukanya masyarakat untuk menerima perubahan.
Dukungan terhadap pendapat Hazairin telah banyak dikemukakan dalam berbagai kajian ilmiah. Keberatan terhadap teori ini agaknya lebih disebabkan ketidakberanian mereka mengoreksi cara tafsir mazhab sunni yang lebih condong kepada sistem patrilineal dan terlanjur disakralkan.Untuk itu agar pemikiran Hazairin dapat diterima di kalangan sunni yang konservatif ini manakala dia mampu memahami bahwa sistem kewarisan Sunni merupakan salah satu hasil penalaran intelektual sebagaimana halnya yang dilakukan Hazairin.
Terlepas adanya sikap pro dan kontra di atas, perlu diketahui bahwa pemikiran Hazairin ini telah turut memperkaya perkembangan hukum Islam di Indonesia terlebih tentang ilmu waris. Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai bentuk kodifikasi hukum Islam di Indonesia agaknya tidak luput dari pengaruh Hazairin, seperti telah diaturnya ketentuan tentang ahli waris pengganti pada pasal 185.




Pengaruhnya Terhadap Pembagian Harta Waris
Mewarisi harta dari orang yang telah meninggal merupakan salah satu bentuk cara yang sah untuk memperoleh hak milik terhadap suatu benda. Sehingga pembagian harta dengan cara mewarisi merupakan salah satu bentuk pemilikan harta yang diakui dalam hukum Islam. Bahkan Islam mengatur distribusi harta kepada para ahli waris yang berhak dengan bagian jelas dan rinci. Sistem kewarisan yang bercorak patrilineal akan mencerminkan distribusi harta waris yang lebih didominasi dan lebih banyak memberi banyak peluang kepada kaum laki-laki. Hal sebaliknya terjadi bagi sistem kewarisan matrilineal. Adapun sistem kewarisan yang bercorak bilateral akan lebih memberi kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan dalam menerima distribusi harta warisan.
Apabila dilihat dari distribusi pembagian harta waris, sistem kewarisan sunni yang bercorak patrilineal dalam beberapa kasus tertentu kelihatan kurang dapat memberi penyelesaian yang adil terhadap para ahli waris. Berbeda dengan sistem kewarisan bilateral yang lebih memberikan keadilan. Satu contoh, misalnya, ada seorang yang meninggal dunia dengan ahli waris terdiri dari beberapa anak laki-laki dan perempuan, seorang isteri dan beberapa cucu yang orang tuanya telah meninggal. Menurut sistem kewarisan Sunni, cucu tidak mungkin dapat warisan dari kakeknya karena masih ada anak (saudara dari orang tuanya). Sedangkan menurut sistem bilateral, sang cucu tetap dapat mewarisi harta peninggalan kakeknya sebesar yang diterima orang tuanya seandainya masih hidup, karena cucu di sini berkedudukan sebagai mawali bagi anak. Dari contoh sederhana ini tampak bahwa pembagian harta waris yang ditawarkan melalui sistem bilateral tampak lebih adil.
Dengan demikian sistem kewarisan bilateral paling tidak telah memberi solusi bagi sistem kewarisan yang dianggap kurang dapat memenuhi keadilan, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Pembaharuan yang dicanangkan merupakan satu bentuk sistem yang padu dan menyeluruh, bahkan cukup berpengaruh terhadap perkembangan hukum Islam di Indonesia.

Penutup
Akhirnya, reinterpretasi terhadap sistem kewarisan bilateral pada dasarnya merupakan bentuk ketidak puasan menerima sistem kewarisan Sunni klasik. Doktrin Sunni yang selama ini dipegang oleh umat Islam di Indonesia bercorak patrilineal, padahal yang dikehendaki al-Qur’an adalah sistem kewarisan bilateral. Penafsiran hukum waris yang bercorak patrilineal kalangan Sunni sebenarnya merupakan pengaruh dari kultur bangsa Arab yang bercorak patrilineal. Sehingga perlu dirombak agar sesuai dengan kultur Indonesia yaitu menggunakan sistem bilateral yang lebih mencerminkan keadilan, terlebih dengan keberadaan mawali (ahli waris pengganti).



















Daftar Pustaka

A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum waris Islam Transformatif, cet. I (Jakarta: Rajawali Pers, 1997).
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Mualamat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta:FH-UII, 1993).
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, (Padang : Angkasa Raya, 1993).
----------------------, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Prenada Media, 2004).
H. Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Djuhana S. Pradja (Pengantar), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, cet. 2 (Bandung: Rosda Karya, 1994).
Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, cet. 3 (Jakarta: Tintamas, 1976).
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, cet.2 (Jakarta: Tintamas, 1968).
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadits, cet. 7 (Jakarta: Tintamas,1990).
M. Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam, dalam Muhammad Wahyuni Nafis et. al., Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA., cet 1 (Jakarta: Paramadina-IPHI, 1995).
M. Idris Rammulyo, Hukum Kewarisan Islam, (IND-Hill, co, 1987).
Sajuti Thalib SH, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, cet. 4 (Jakarta: Sinar Grafika, 1993).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar