Keadilan Sahabat

KEADILAN SAHABAT
I
PENDAHULUAN
Seluruh umat Islam memahami bahwa hadits adalah pedoman hidup yang kedua setelah al-Qur’an. Sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Dimana Rasulullah masih hidup Hadits belum mendapat perhatian sepenuhnya seperti al-Qur’an. Para sahabat terutama yang mempunyai tugas istimewa selalu mencurahkan tugas dan tenaganya untuk mengabdikan pada ayat-ayat al-Qur’an di atas alat-alat yang digunakannya. Tetapi tidak demikian dengan al-Hadits, kendatipun para sahabat sangat memerlukan petunjuk-petunjuk dan bimbingan Nabi Muhammad Saw dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an, namun mereka belum membayangkan bahasa yang dapat mengancam generasi yang akan dating selama Hadits belum diabadikan dalam tulisan.
Dalam hadits dijelaskan urgensi sahabat berkaitan dengan rangkaian periwayatan yang diderivikasikan dari Rasulullah Saw diriwayatkan bahwa sahabat adalah transmiter awal yang menyalurkan informasi nilai-nilai relegius kepada generasi yang berikutnya. Tanpa sahabat, informasi penting tentang agama tidak akan sampai kepada generasi pasca sahabat. Terhadap peran sahabat dalam transmisi nilai relegius yang vital ada dua pandangan yang berbeda; pertama ulama’ sunni secara mayoritas sepakat bahwa sahabat adalah tonggak Islam pertama yang tidak perlu diragukan lagi informasi-informasi yang disampaikan kepada generasi selanjutnya, kesepakatan itu berarti tidak perlu menguasai kredibilitas dan integritas (عادلة) nya. Urgensi dan peran para sahabat sebagai tonggak awal pembawa panji-panji Islam tersebut juga diakui oleh ulama’ shi’i, hanya saja menurut mereka hal itu tidak serta merta bermakna bahwa sahabat secara keseluruhan dapat diterima sebagai transmitter nilai-nilai agama tanpa diuji kredibilitas dan integritasnya masing-masing individunya.
Agar penulisan makalah ini tidak membias, maka penulis mengatur pada kisi-kisi sebagai berikut :
o Pengertian sahabat
o Keutamaan sahabat dan factor-faktor yang membedakan dalam periwayatan hadits
o Pengertian ‘Adalah dan Keadilan Sahabat
o Pandangan ulama tentang keadilan sahabat

II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sahabat
Sahabat secara etimologis merupakan kata bentukan dari kata al-suhbeih (persahabatan), bentuk isim masdar “Shahiba-yashabu”, yang artinya mengikuti, menyertai atau orang yang menyertai orang lain, sedikit atau banyak, yang digunakan untuk mengikuti pernyataanya dalam suatu kegiatan, baik dalam frekuensi minimal maupun maksimal, sepanjang masa, satu tahun, satu bulan, satu hari, dan satu jam.
Adapun pengertian sahabat menurut istilah para ulama’ berbeda pendapat :
o Menurut Usman ibn Shalih, sahabat adalah orang yang menemui masa Nabi walaupun dia tidak dapat melihat dan memeluk Islam semasa Nabi hidup.
o Menurut ulama’ hadits, sahabat adalah setiap muslim yang pernah melihat Rasulullah Saw.
o Menurut Ibn Hazm, sahabat adalah setiap orang yang pernah bermujalasah dengan Nabi walaupun hanya sesaat, mendengar dari beliau walaupun hanya satu kata, menyaksikan beliau dalam menangani satu masalah dan tidak termasuk orang-orang yang munafik yang kemunafikannya berlanjut sampai populer dan meninggal seperti itu.
o Menurut Ibn Hajar, definisi sahabat yang paling shahih adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi Saw, dalam keadaan beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan iman juga. Masuk dalam kategori orang yang pernah ketemu Nabi Saw, orang yang lama bermujalasah atau sebentar saja bersama beliau, orang yang turut berperang atau tidak, orang yang tidak pernah melihat beliau dengan alsan tertentu seperti buta. Dan pendapat ini merupakan pendapat yang mayoritas.
B. Keutamaan Sahabat dan Faktor-faktro yang membedakan dalam periwayatan Hadits
1. Ketutamaan Sahabat.
Para ulama berbeda pendapat, siapa diantara sahabat yang lebih dahulu memeluk agama Islam. Ada yang mengatakan Abu Bakar, ada yang mengatakan Khadijah, Zaid Ibn Haritsah, Ali bin Abi Thalib dan ada yang mengatakan Ibn Ats.
Menurut penelitian Muhaqqiqin, bahwa orang yang mula-mula masuk Islam adalah Khadijah ra. Dan Assalaby menganggap bahwa, pendapat para muhaqqiqi tersebut sudah menjadi ijma’. Hanya saja yang menjadi perselisihan ialah orang-orang sesudah khadijah ra. Untuk menjaga keperwiraan dan menghindari kesimpangsiuran pendapat tentang orang-orang yang mula-mula masuk Islam, Imam Nawawi mengklasifikasikannya sebagai berikut :
a. Dari golongan orang laki-laki dewasa lagi merdeka, ialah Abu Bakar.
b. Dari golongan pemuda, ialah Ali bin Abi Thalib.
c. Dari golongan wanita, ialah Khadijah
d. Dari golongan mawali (budak),ialah Zaid bin Haritsah, budak pemberian Khadijah yang dibebaskan oleh Nabi, kemudian diambil anak angkat.
e. Dari golongan hamba sahaya adalah Bilal.
Menurut para sahabat, tabi’in dan fuqaha’ telah sepakat dalam menetapkan bahwa sahabat yang paling utama secara mutlak adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Setelah mereka berempat, ialah sahabat sepuluh yang telah diakui masuk surga diantaranya : Sa’ad ibn Abi Waqats, Said bin Zaid, Thalahah ibn Ubaidillah, Az-Zubair ibn Al-Awam, Abd Rahman ibn Auf, Abu Ubai dan Ibn Al-Jasrah. Kemudian sahabat-sahabat yang menyaksikan perang Badar, perang Uhud, kemudian sahabat yang hadir dalam mengadakan Bait ar-Ridwan di Hudaibiyah, dan yang terakhir adalah Assabiqunal Awwalun.
2. Faktor-faktor yang membedakan dalam periwatan hadits.
Para sahabat tidak berada pada satu tingkatan dalam hal ilmu mereka, mengenai sunnah, hal-ihwal, dan sabda Rasulullah Saw, namun keadaan mereka bertingkat tingkat, karena ada diantara mereka yang menghabiskan umurnya untuk selalu bersama Rasulullah Saw dan melayani sebagian besar kegiatan beliau seperti Anas bin Malik. Ada juga yang sering mengembara di pedalaman-pedalaman atau berdagang ke berbagai daerah, ada yang berasal dari perkotaan dan ada pula yang berasal dari pedalaman (pedesaan), ada yang menetap ada juga nomadic. Sehingga berbeda-beda tingkat pengetahuan tentang apa yang datang dari Rasulullah Saw.
Para sahabat dalam meriwayatkan hadits dari Rasulullah Saw yang dibawa kepada kita syariat yang hanif dan disampaikannya kepada generasi sesudah mereka, baik berupa perbuatan, namun segala aktifitas Rasulullah Saw yang besar maupun yang kecil, saat di rumah ataupun di saat bepergian, saat berpindah-pindah maupun saat menetap. Mereka meriwayatkannya itu berbeda-beda. Ada yang meriwayatkan lebih dari 200 hadits, ada sahabat yang meriwayatkan lebih dari 100 hadits dan bahkan ada sahabat hanya meriwayatkan satu hadits Rasulullah Saw. Dari pemaparan tersebut jelaslah perbedaan sahabat dalam meriwayatkan hadits dari Rasulullah Saw.

C. Pengertian Al-‘Adalah dan Keadilan Sahabat
1. Pengertian Al-‘Adalah
Al-‘Adalah menurut bahasa adalah masdar dan kata kerja (عدل) dan sinonimnya adalah al-Istiqomah, yang berarti lurus, menurut pengertian sahabat bersikap lurus di jalan kebenaran dengan menghindarkan hal-hal yang dilarang oleh agama.
Menurut ibnu Sam’ani, keadilan seorang rawi harus memenuhi empat syarat, yaitu :
a. Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi maksiat
b. Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun
c. Tidak melakukan perkataan-perkataan mubah yang dapat menggugurkan iman kepada qadar dan mengakibatkan penyesalan.
d. Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan syara’.
Dengan demikian, jika pada diri seorang rawi tidak ada jiwa yang adil dalam meriwayatkan hadits, maka akan berpengaruh negative terhadap kesahihan hadits itu sendiri.
2. Keadilan Sahabat
Menurut Jumhur Ulama’, bahwa seluruh sahabat itu adalah adil. Adapun yang dimaksud adil disini adalah adanya konsekuensi para sahabat secara kontinyu dalam menegakkan nilai-nilai agama, senantiasa ber amar ma’ruf serta tidak berbohong kepada Rasulullah Saw. , dengan demikian keadilan sahabat akan berarti, karena para sahabat dijamin terjaga dari perbuatan dosa, lupa atau kelupaan.
Imam Al-Khatib al-Bagdadi, dalam kitab kifayahnya mengatakan bahwa tidak perlu dipersoalkan lagi mengenai keadilan para sahabat, karena keadilan sahabat sudah ditetapkan keadilannya oleh Allah Swt., dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits, ayat-ayat tersebut antara lain :
  •  ••                     
110. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (AliImran : 110)

Dan perintah ini langsung tertuju kepada sahabat Rasulullah dan orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu.
Adanya perbedaan pendapat mengenai keadilan sahabat, Imam Al-Nawawi menyatakan pendapat jumhur itu telah menjadi ijma’, oleh karena itu tidak diperbolehkan seseorang mengkritik mereke, khawatir akan menyimpang dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang telah menegaskan keadilan mereka. Sebab mereka memiliki peran yang sangat besar dalam menegakkan dan membela agama, membela Rasulullah Saw, menyerahkan jiwa dan hartanya, bersikap sesuai dengan tatanan-tatanan-Nya dan sangat ketat dalam melaksanakan perintah maupun menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Zurah Al-Rasyi mengenai keadilan sahabat adalah jika kamu melihat seseorang yang mencari kesalahan seorang sahabat, maka ketahuilah bahwa orang itu sindiq. Hal ini karena Rasulullah saw benar, Al-Qur’an benar dan apa yang dibawa oleh beliau benar, semua itu dibawa kepada kita oleh sahabat.
D. Pandangan Ulama’ tentang Keadilan Sahabat
Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa keadilan sahabat telah di maklumi berlandaskan apa yang ditegaskan Allah Swt sendiri. Selain itu Allah juga memuji mereka. Oleh karena itu tidak perlu lagi menta’dilkan mereka sebab penta’dilan dari Allah ebih sahih mengingat Dia adalah Dzat yang Maha Mengetahui terhadap yang ghaib. Pernyataan Al-Ghazali mendapat dukungan ibn Salah, ia menjelaskan bahwa keadilan sahabat sudah tidak dipertanakan lagi. Hal ini sesuai dengan keterangan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ bahwa mereka semua adalah adil.
Ulama’ Sunni juga menyepakati tentang keadilan sahabat, posisi sahabat sangat tinggi dalam pandangan mereka, dan mereka mengatakan bahwa sahabat itu tidak perlu diteliti keadilannya karena mereka semua adil. Dan pendapat ini ditentang oleh sebagian tokoh Mu’tazilah seperti Wasil bin ‘Atha’ dan Umar bin Abid, justru berpendapat bahwa suatu riwayat harus dibuang bila transmisinya berujung pada sahabat, tidak terkecuali Ali. Hal ini disebabkan mereka sama-sama pernah terlibat perang Jamal dan Siffin.
Menurut Ahl al-Bait, diantara para sahabat ada yang adil ada yang tidak adil, sebab keberadaan seorang sahabat tidaklah menjadi jaminan atas keadilannya. Satu hal penting untuk mengetahui keadilan seorang sahabat adalah menelusuri prilaku hidupnya hingga dapat disimpulkan bahwa ia adil dan dapat dipercaya atau sebaliknya.
Adapun sebaliknya jawaban Ahl Bait terhadap argument Al-Qur’an yang dijadikan landasan oleh kalangan sunni untuk merekomendasikan keadilan seluruh sahabat sebagai berikut : Seperti surat Ali Imran ayat 110, juga tidak tepat untuk dijadikan argument keadilan bagi seluruh sahabat Nabi. Mukhatabun (orang yang diajak bicara) ayat ini adalah ummat Islam secvara umum dibandingkan dengan ummat lainnya, status sebagai umat terbaik diberikan oleh ayat tersebut kepada mereka jika melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, serta beriman kepada Allah swt, dan sebaliknya bila tidak atau bahkan melakukan kemungkaran bukan lagi ummat terbaik.
Argument lain oleh Ahlul Bait yang dijadikan rujukan adanya sahabat yang tidak adil adalah terjadinya peperangan di kalangan sahabat yaitu perang siffin, antara kelompok Ali dan Muawiyah.

III
KESIMPULAN
Dari uraian tersebut diatas kami menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Sahabat adalah orang yang bertemu Nabi saw yang bermujalasah dengannya baik lama atau sebentar, yang beriman kepada Allah dan Rasulnya baik ketika Rasulullah masih hidup atau sesudah wafat, hingga akhir hayatnya.
2. Keadilan sahabat adalah konsekuensi para sahabat secara kontinyu dalam menegakkan nilai-nilai agama, senantiasa beramal ma’ruf nahi mungkar dan tidak pernah berbohong kepada Rasulullah saw.
3. Menurut mayoritas ulama mengatakan bahwa seluruh sahabat adalah adil, namun sebagian lagi mengatakan bahwa tidak semua sahabat adil sebab bukanlah seorang manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan, sebagaimana yang terjadi pada manusia lainnya.

BIBLIOGRAPY

Al-Bagdadi, Al-Khatib, “Kitab al-Kifayah”, (Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1988)

Al-Khatib, Muhammad Ajjaj, “Usul al-Hadits’Ulumuha ‘Ala Mustalahahu”, (Bairut : Dar al-Fikr, 1989)

Abu Syuhnah, Muhammad, “Al-Wasit Fi al-‘Ulum Wa Mustalahu al-Hadits”, (Kairo : Dar al-Fikr al-Arabi, tt)

Departemen Agama RI, “Al-Qur’an dan Terjemahannya”, 1986.

Hasbi As-Shidiqi, Muhammad, “Sejarah Pengantar Ilmu Hadits”, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1999).

Al-Ghazali, Muhammad, “Al-Mustafa ‘Ulum al-Hadits”, (Bandung : Al-Ma’rif, 1970).

Jumantoro, Totok, “Kamus Ilmu Hadits”, (FF : Bumi Aksara, 1997).

Rahman, Fathur, “Intisari Mustalah al-Hadits”, (Bandung : Al-Ma’arif, 1970).

Salah, Ibn, “Muqaddimah Ibn Salah Fi ‘Ulum al-Hadits”, (Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1989).

Subhani, Zafar, “Ilahiyat ‘Ala Huda al-Kitab Wa al-Sunni Wa al-Aqli”, (Vol III, Qan Teheran : Al-Markaz al-Alami Li al-Dirasah al-Islamiyah, 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar