Kodifikasi Hadits

KODIFIKASI HADIS

A. Latar Belakang Kodifikasi Hadis
Salah satu fungsi hadits adalah merupakan penafsiran Al Qur’an dalam praktik atau penerapan ajaran Islam secara factual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi SAW, merupakan perwujudan dari Al Qur’an yang ditafsirkan manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh sebab itu, siapa saja yang ingin mengetahui tentang manhaj (metodologi) praktis Is-lam dengan segala karakteristik dan pokok-pokok ajarannya, maka hal itu dapat dipelajari secara rinci dan teraktualisasi dalam Sunnah Nabi, yakni ucapan, perbuatan dan persetu-juan Nabi SAW.
Adanya pembukuan hadits tentunya mempunyai dampak positif yang banyak sekali terhadap perkembangan dan penyebaran ajaran Islam. Hal ini dapat kita lihat ketika ada suatu permasalahan atau perselisihan mengenai suatu hukum yang terjadi di antara umat Islam , setelah mereka memeriksa dan mencari dalil tentang hukum tersebut dalam Al -Qur’an hampir dapat dipastikan mereka akan mencari dalil sunnah (hadis) sebagai pili-han kedua.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bi Abdul Azis yakni tahun 99 Hijriyah datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadis, Maka pada tahun 100 H, Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkan kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm supaya membukukan hadis - hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal.
Pembukuan hadits dimulai pada akhir abad pertama Hijriah, dan rampung pada pertengahan abad ketiga. Hal ini tidak lepas dari adanya dorongan pembukuan hadis oleh Khalifah 'Umar Ibn 'Abd al-'Aziz (w. 102 H.) dari Bani Umayyah. Khalifah ini terkenal dengan sebutan kehormatan, Umar II, yang mengisyaratkan pengakuan bahwa ia adalah pelanjut kekhalifahan 'Umar Ibn al-Khaththab yang bijakbestari.Maka banyak kalangan kaum Muslim yang memandang 'Umar II se-bagai anggota kelima dari al-Khulafa al-Rasyidun, sesudah 'Ali Ibn Abi Thalib.
'Umar II memerintahkan seorang sarjana terkenal, Syihab al-Din al-Zuhri (w. 124 H) un-tuk meneliti dan membuktikan tradisi yang hidup di kalangan penduduk Madinah, Kota Nabi, karena keyakinan 'Umar II bahwa tradisi itu merupakan kelanjutan langsung pola kehidupan masyarakat Madinah di zaman Nabi, jika bukannya malah merupakan wujud historis yang kongkret dari "tradisi" atau "sun-nah" Nabi sendiri.
Dari sudut analisa politik, tindakan 'Umar II ini adalah untuk menemukan dan me-ngukuhkan landasan pembenaran bagi ideologi Jama'ah-nya, yang dengan ideo-logi itu ia ingin merangkul seluruh kaum Muslim tanpa memandang aliran politik atau pemahaman kea-gamaan mereka, termasuk kaum Syi'ah dan Khawarij yang merupakan kaum oposan ter-hadap rezim Umayyah. 'Umar II melihat bahwa sikap yang serba akomodatif pada semua kaum muslim tanpa memandang aliran politik atau paham keagamaan khasnya itu telah diberikan contohnya oleh penduduk Ma-dinah, di bawah kepeloporan tokoh -tokohnya seperti 'Abd-Allah ibn 'Umar (Ibn al-Khaththab), 'Abd-Allah Ibn 'Abbas dan 'Abd-Allah Ibn Mas'ud.
Jadi,dalam pandangan 'Umar II, sikap yang serba inklusifistik sesama kaum mus-lim itu merupakan "tradisi" atau "sunnah" historis penduduk Madinah, dan dengan begitu, juga merupakan kelanjutan yang sah dari "tradisi" atau "sunnah" Nabi. Maka penelitian dan pembukaan tentang tradisi penduduk Madinah akan dengan sendirinya menghasilkan pembukuan "tradisi" atau "sunnah" Nabi. Selanjutnya, "sunnah" itu akan memberi landa-san legitimasi bagi Idenya tentang persatuan seluruh umat Islam dalam "Jama'ah" yang serba mencakup.Dan berdasarkan latar belakang inilah maka ideologi 'Umar II kelak disebut sebagai paham"sunnah dan jama'ah" dan para pendukungnya disebut ahl al-sunnah wa al-Jama'ah (golongan sunnah dan jama'ah).
Mushthafa al-Siba'i dalam majalah Al-Muslimin seperti yang dikutip Nurcholis Madjid amat menghargai kebijakan 'Umar II berkenaan dengan pembukaan sun-nah itu, sekalipun ia menyesalkan sikap Khalifah yang baginya terlalu banyak memberi angina pada kaum Syi'ah dan Khawarij (karena, dalam pandangan al-Siba'i, golongan oposisi itu kemudian mampu memobilisasi diri sehingga, dalam kolaborasinya dengan kaum Abbasi,mereka akhirnya mampu meruntuhkan Dinas-ti Umayyah dan melaksanakan pembalasan dendam yang sangat kejam). Dan, menurut al-Siba'i, sebelum masa 'Umar II pun sebetulnya sudah ada usaha - usaha pribadi untuk mencatat hadits, sebagaimana dilakukan oleh 'Abd Allah Ibn 'Amr Ibn al-'Ash.

B. Penghapalan Hadis
Ketika Rasulullah SAW. wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rasul sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis AI-Quran. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SA W.
Para sahabat dalam menerima hadis dari Nabi SAW. berpegang pada kekuatan hapalannya, yakni menerimanya dengan jalan hapalan, bukan dengan jalan menulis hadis dalam buku. Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadis melalui mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Nabi. Kemudian terekamlah lafal dan makna itu dalam sanubari mereka. Mereka dapat melihat langsung apa yang Nabi kerjakan. atau mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari nabi, karena tidak semua dari mereka pada setiap waktu dapat mengikuti atau menghadiri majelis Nabi. Kemudian para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang pernah Nabi lakukan, untuk selanjutnya disampaikan kepada orang lain secara hapalan pula.
Hanya beberapa orang sahabat saja yang mencatat hadis yang didengarnya dari Nabi SAW. Di antara sahabat yang paling banyak menghapal/meriwayatkan hadis ialah Abu Hurairah. Menurut keterangan Ibnu Jauzi bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sejumlah 5.374 buah hadis. Kemudian para sahabat yang paling banyak hapalannya sesudah Abu Hurairah ialah:
Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadis.
Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadis.
Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadis.
Abdullah ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadis.
Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadis.
Abu Said AI-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadis.

C. Kodifikasi Hadis
Kodifikasi yang dimaksud disini tentu bukan penulisan seluruh hadis, karena perizinan penulisan tidak kepada sembarang orang. Bukan juga dipahami bahwa sunnah terbukukan rapi seperti Al-Quran, tapi hanya berbentuk lembaran-lembaran. Belum tersusun rapi seperti kitab Muwaththa' punya Imam Malik atau Shahih Bukhari. Yang terpenting adalah bahwa penulisan sejak zaman Rasulullah sudah diizinkan. Sebagaimana yang maklum, bahwa metode pengambilan hadis adalah orally (musyâfahah), dari mulut ke mulut, karena para sahabat dianugerahi kekuatan hafalan yang luar biasa. Akan tetapi ada beberapa sahabat yang di ijnkan menulis apa yang Rasulullah SAW. ucapkan. Bahkan penulisan pun dalam pengawasannya.
Rasulullah SAW. mengizinkan sahabat Abdullah bin Amr bin Ash menulis hadis, akan tetapi beberapa orang Quraisy melarangnya seraya berkata: Wahai Abdullah! Nabi adalah manusia, ia berbicara dalam keadaan ridla dan marah, maka janganlah kau tulis dari (perkataan) Rasulullah kecuali ketika dalam kedaan ridla. Abdullah bin Amr pun menghentikan aktivitasnya kemudian langsung mengadukan hal ini dan menanyakan kepada Rasulullah Saw. beliau menjawab: "Tulislah!, demi Allah tidak ada apapun yang keluar dari diriku kecuali yang benar." Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Imam Hakim juga meriwayatkan tentang hadis ini dengan bahasa yang berbeda tetapi maknanya sama, keduanya hadis shahih, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Adz-Dzahaby.
Selain hadis di atas banyak juga hadis yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. mengizinkan penulisan hadis kepada beberapa sahabat. Rasulullah Saw. sangat mengetahui keadaan para sahabat. Siapa yang dibolehkan menulis dan siapa yang tidak dibolehkan. Tentu semuanya ada alasan yang mendasarinya.
Pada abad pertama hijrah, yakni masa Rasulullah SAW., masa khulafaur Rasyidin dan sebagian besar masa bani umayyah, hingga akhir abad pertama hijrah, hadis-hadis itu berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya. Memang hapalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh khalifah Umar bin Khattab (w. 23/H/644 M). Namun ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena beliau khawatir bila umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama hijrah, yakni tahun 99 hijrah datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadis. Umar bin Abdul Azis seorang khalifah dari Bani Umayyah terkenal adil dan wara', sehingga beliau dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima.
Beliau sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H. Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal.
Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang berbunyi:

Artinya:
"Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah. karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan. "

Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perinea khalifah tersebut. Dan Az-Zuhri itulah yang merupakan salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis.
Dari Syihab Az-Zuhri ini (15-124 H) kemudian dikembangkan oleh ulama-ulama berikutnya, yang di samping pembukuan hadis sekaligus dilakukan usaha menyeleksi hadis-hadis yang maqbul dan mardud dengan menggunakan metode sanad dan isnad.
Metode sanad dan isnad ialah metode yang digunakan untuk menguji sumber-sumber pembawa berita hadis (perawi) dengan mengetahui keadaan para perawi, riwayat hidupnya, kapan dan di mana ia hidup, kawan semasa, bagaimana daya tangkap dan ingatannya dan sebagainya. Ilmu tersebut dibahas dalam ilmu yang dinamakan ilmu hadis Dirayah, yang kemudian terkenal dengan ilmu Mustalahul hadis.
Setelah generasi Az-Zuhri, kemudian pembukuan hadis dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H), Ar-Rabi' bin Shabih (w. 160 H) dan masih banyak lagi ulama-ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempuma. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H. dilakukan upaya penyempunaan. Mulai. waktu itu kelihatan gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuan dan penulisan hadis-hadis Rasul SAW. Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang sampai kepada kita, antara lain AI-Muwatha ' oleh imam Malik, AI Musnad oleh Imam Asy-Syafi'l (204) H. Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh Imam-lmam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Turmuzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan lain-lain
Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab) enam yaitu: Sahih AI-Bukhari Sahih Muslim, Sunan An-Nasai dan At-Turmuzi. Tidak sedikit pada "masa berikutnya dari para ulama yang menaruh perhatian besar kepada Kutubus sittah tersebut beserta kitab Muwatta dengan cara mensyarahinya dan memberi catatan kaki, meringkas atau meneliti sanad dan matan-matannya.

D. Implikasi Kodifikasi Hadis
Adanya pembukuan hadis mempunyai banyak implikasi - implikasi terhadap perkemba-ngan pemahaman tentang ajaran Islam umumnya, serta perkembangan hadis dan ulumul hadis itu sendiri khususnya.
a. Implikasi Praktis
Implikasi praktis dapat saya uraikan menjadi beberapa bagian di bawah ini :
1) Memudahkan pencarian hukum-hukum syari’at mengingat hadis sebagai sum-
ber hukum Islam kedua setelah Al Qur’an.
Berhukum dengan hadis Nabawi merupakan kebutuhan agama yang sudah
pasti.Dan dalam perkembangannya hadis-hadis tersebut telah disusun atau dibu-
kukan berdasarkan masailul fiqh. Seperti kitab-kitab sunan dan lain-lain.
2) Memudahkan penilaian hadis karena sebagian hadis sudah diteliti secara men-
dalam oleh peneliti sebelumnya.
3) Terpeliharanya kemurnian tradisi Nabi
Banyaknya berita- berita yang sampai ke hadapan kita dengan mengatasnama-
kan Nabi,sering membuat kita ragu akan kebenaran berita tersebut.Hanya dalam
hadis (sunnah) Nabi, yang terwakili dengan hadis shahih, kemurnian warisan
Nabi Muhammad dapat terpelihara.
4) Memungkinkan adanya penulisan – penulisan buku - buku hadis baru setelah
Penulisan kitab-kitab terdahulu.
b. Implikasi Teoritis
1. Hadits ahad dapat diterima
2. Ilmu hadis akan berkembang sejalan dengan semakin banyaknya tantangan
yang dihadapi oleh hadis
3. Pintu ijtihad semakin lebar dan pintu taklid semakin sempit.
Namun tidak menutup kemungkinan adanya implikasi yang lain yang belum terinventarisir dengan baik oleh penulis.
Berdasarkan ijma’ qath’iy dari para sahabat ra, untuk tidak mengambil khabar ahad dan dzanniy untuk menetapkan salah satu rukun dari rukun-rukun aqidah yakni al-Qur’an yang membangun seluruh rukun aqidah islamiyah, maka tidak ada tempat lagi bagi pendapat yang menyatakan kemungkinan membangun aqidah diatas keraguan (dzan) semisal khabar ahad. Ijma’ sahabat telah meluluhlantakkan pendapat dan propaganda yang menyatakan khabar ahad dapat untuk dijadikan sebagai dalil aqidah.
Barangsiapa berpendapat bahwa khabar ahad membawa implikasi iman
(keyakinan), sesungguhnya ia telah menuduh sahabat-sahabat Rasulullah
SAW telah bersepakat mengurangi dan menambah kitabullah. Sebab para
sahabat Rasulullah SAW tidak mencantumkan riwayat-riwayat ahad (yang
diklaim sebagai al-Qur’an) kedalam mushaf Imam yang wajib kita yakini
keotentikannya. Pendapat diatas juga membawa implikasi bahwa para
sahabat telah melakukan kesalahan dalam masalah ushuluddin, padahal
mustahil bagi mereka bersepakat untuk melakukan kesalahan dan kesesatan.
Sungguh, al-Qur’an dan sunnah telah menjamin keadilan mereka.
Dengan demikian madzhab yang menerima dzan dan khabar ahad dalam aqidah
adalah madzhab bathil dan asing, dan harus ditinggalkan karena pendapat
ini telah bertentangan dengan jumhur kaum muslimin baik dari kalangan
sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta ulama-ulama setelah mereka baik
dari kalangan muhaditsin, fuqaha serta ulama ushul. Mereka sepakat bahwa
khabar ahad hanya menghasilkan dzan (dugaan) saja tidak menghasilkan
keyakinan sehingga tidak bisa sebagai dalil aqidah.

E.Kesimpulan
Ketika kita sedang giat melakukan islamisasi ilmu, budaya, ekonomi, hukum, dan masyarakat, kita tidak bisa tidak harus merujuk pada hadis dan sunnah (tentu saja sesudah al-Qur'an). Bahkan ketika merujuk pada al-Qur'an pun, kita harus melihat hadis. Pembaruan pemikiran Islam atau reaktualisasi ajaran Islam, harus mengacu pada teks-teks yang menjadi landasan ajaran Islam. Semua orang sepakat pentingnya hadis dan sunnah dalam merealisasikan ajaran Islam. Yang sering kita lupakan adalah bersikap kritis terhadap keduanya. Sikap kritis ini seringkali dicurigai akan menghilangkan hadis atau sunnah. Kita lupa bahwa kritik terhadap keduanya telah diteladankan kepada kita oleh para ulama terdahulu.

DAFTAR PUSTAKA
http : // www.hadis.blogspot.Com/kodifikasi hadis
di akses pada hari Minggu, 20 April 2008 pukul 21.00 WIB

1 komentar:

vaniatada mengatakan...

Ford Escape Titanium 2021, Here Are Your Best Sites
Welcome titanium white to our website of the 2020 The Best CS:GO Gambling is titanium expensive Sites. The best titanium mug CS:GO gambling site is head titanium ti s6 here to play on the go. is titanium a metal The website boasts over 1000 games

Posting Komentar