Kualitas Hadits

BAB I
PENDAHULUAN

Kehujjahan hadits sebagai dasar hukum kedua setelah Al-Qur'an adalah hal yang tidak diragukan lagi. Hadits dipercaya sebagai sumber hukum terkuat setelah Al-Qur'an, oleh karena keberadaannya yang bersumber pada pribadi Nabi besar Muhammad SAW sebagai pembawa risalah Islam.
Pada tataran realitas, hadits mulai mendapatkan perhatian serius setelah masa khalifah ke lima Umayah yaitu khalifah Umar Ibnu Abdul ‘Aziz. Perhatian itu muncul karena kekhawatiran beliau terhadap hilangnya sunnah rasul dengan semakin banyaknya ‘ulama’ dan sahabat ahli hadits yang meninggal di medan juang. Di sisi lain wilayah kekuasaan Islam semakin bertambah luas, oleh karena itulah khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz memerintahkan kepada para gubernurnya agar membukukan hadits yang ada para ulama’ di wilayahnya masing-masing.
Oleh karena itu mulai saat itu banyak kemunculan hadits–hadits yang disandarkan Rasulullah, namun hadits-hadits tersebut bukan hadits Nabi (hadits Maudlu’), maka para ulama’ melakukan seleksi ketat terhadap hadits-hadits yang ada. Seleksi itu kemudian melahirkan satu disiplin ilmu yang kita kenal dengan ilmu hadits.
Ilmu hadits adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasulullah SAW, dari segi hal ihwal para perawinya kedlabitan, keadilan dan dari bersambung tidaknya sanad dan sebagainya. Ilmu ini kemudian memungkinkan terhadap adanya hadits-hadits yang bisa digunakan sebagai hujjah (maqbul) dan yang tidak diterima kehujjahan (mardud).
Kajian tentang diterima dan tidaknya kehujjahan hadits melahirkan pandangan tentang kualitas hadits tersebut dalam pandangan para ulama’. Oleh karena itu makalah ini akan mencoba membahas seputar “Hadits ditinjau dari segi kualitasnya”, sebagai sebuah pengantar dalam diskusi pada forum program pasca sarjana di lingkup STAIN Tulungagung.

BAB II
PEMBAHASAN

Pembicaraan tentang pembagian hadits dilihat dari segi kualitasnya ini tidak terlepas dari pembahasan mengenai pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitasnya, yakni dibagi menjadi hadits mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir memberikan pengertian kepada yaqin bi-al-alqath’i, bahwa nabi Muhammad SAW benar-benar bersabda, berbuat, atau menyatakan iqrarnya di hadapan para sahabat. Berbeda dengan hadits ahad yang memberi pengertian dzanny.
Secara umum ulama’ hadits menggolongkan hadits ditinjau dari segi kualitasnya menjadi dua kelompok, yaitu hadits yang maqbul dan hadits yang mardud. Hadits yang maqbul digolongkan menjadi hadits shahih dan hasan. Sedangkan hadits yang mardud digolongkan menjadi hadits dlaif dengan varian nama serta istilah yang diberikan ulama’ hadits.
Musthofa Azami dalam bukunya Metodologi Kritik Hadits menyatakan bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan hadits ditolak, diantaranya:
1. Adanya cacat pada diri rawi
2. Adanya pertentangan dengan hadits yang lebih kuat
3. Adanya pertentangan dengan akal sehat
4. Dari pernyataan yang bertentangan dengan sabda-sabda kenabian
A. Hadits Shahih
‘Ajaj Al-Khatib mengutip pendapat Abu Amr Ibnu Ash-Shalah, mendefinisikan hadits shahih sebagai musnad yang sanadnya muttashil melalui periwayatan orang yang adil lagi dlabit (pula) sampai ujungnya, tidak syadz dan tidak mua’llal (terkena ilat). Hal senada juga diberikan oleh Hasan Sulaiman al-Nawawi dalam kitab Ibanatul Ahkam, dengan menambahkan yang meriwayatkan harus benar-benar rawi yang muslim, baligh, berakal sehat, mempunyai sifat menjauhi dosa-dosa besar, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Menurut Syuhudi Ismail dengan mengutip pendapat Imam Syafi’i menjelaskan hadits shahih yaitu, hadits yang sanadnya Muttashil, diriwayatkan oleh orang yang adil,dlabit, adil, sampai akhir rawi, tidak kemasukan illat dan syadz.
Dari beberapa definisi di atas dapat diambil satu kesimpulan bahwa hadits bisa dikatakan sebagai hadits yang shahih, apabila memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Muttashilus Sanad (bersambung sanadnya)
2. Diriwayatkan oleh seorang perawi yang adil lagi dlabit dari orang yang adil lagi dlabit pula sampai ujungnya
3. Tidak syadz (janggal)
4. Tidak mua’allal (terkena illat)
Syaikh Umar bin Syaikh Muhammad bin Futuh Addimasqi Asy-Syafi’I dalam ilmu Musthalah Hadits yang terdapat pada kitab ”Taqriirat Mandzumatul Baiquni” menyebutkan ada lima syarat yang harus ada pada hadits shahih, yaitu:
1. Bersambung sanad. (ittishal Al-sanad)
2. Selamat dari syadz (Al-salamh min Al-Syududz)
3. Selamat dari illat yang menyacatkan (Al-Salamah min Al-‘illat Al-Qadihah)
4. Perawinya memilki keadilan dalam periwayatan (‘adlu al-riwayat)
5. Perawinya adalah orang yang dlabith.
Kriteria di atas berimplikasi kepada tidak diterimanya hadits sebagai hadits shahih apabila berbeda dengan kriteria yang telah disebutkan di atas. Adapun dengan istilah-istilah di atas yang meliputi:
1. Muttashil sanad adalah bersambungnya sanad sampai kepada Rasulullah, sehingga hadits Munqathi’, mu’dhal, mu’allaq, muddalas dan sejenisnya tidak masuk dalam muttashil sanad.
2. Adil dalam hal ini adalah orang yang lurus agamanya, baik pekertinya, dan bebas dari kefasikan dan hal-hal yang menjatuhkan perawinya.
3. Dlabit adalah orang yang benar-benar sadar tidak menerima hadits, paham ketika mendengarnya dan menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya.
4. Syadz adalah penyimpangan oleh perawi tsiqah terhadap orang yang lebih kuat darinya.
5. Illat qadihah adalah illat yang mencacatkannya, seperti memursalkan yang maushul, memuttashilkan yang munqathi’ atau memarfu’kan yang mauquf ataupun yang sejenis.
Selanjutnya hadits shahih menurut ‘Ajjaj dibagi menjadi dua, yaitu shahih Li Dzatihi dan shahih Li- Ghoirihi, shahih Li-Dzathihi adalah hadits shahih yang memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal, sebagaimana tersebut di atas. Sedangkan Hadits shahih Lighairihi adalah hadits shahih yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal.
Adapun contoh hadits shahih lidzatihi adalah sebagaimana hadits yang diriwayatkan melalui jalan Al-a’naj dari abu Hurairah:

لَوْلاَ أَنْ اَشَقَّ عَلَ أُمَّتيِ اَوْ عَلَ النَّاسِ لَأَمَّرْتَهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ (رواه البخاري)

“Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melakukan shalat” (HR. Bukhari).

Akan tetapi apabila hadits tersebut ditinjau dari riwayat Muhammad bin Amr maka, hadits tersebut adalah hadits Shahih Lighoirihi, menurut Ibnu Al-Shalah. Menurutnya Muhammad bin Amr adalah terkenal sebagai orang jujur, akan tetapi kedlabitannya kurang sempurna, sehingga hadits riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan, oleh karena ada riwayat lain yang lebih tsiqah sebagaimana riwayat Bukhari dari jalur Al-A’raj maka hadits hasan tersebut naik menjadi shahih lighairihi.
Mengenai kehujjahan hadits shahih, maka ulama’ ahli hadits bersepakat bahwa hadits shahih yang mutawatir merupakan hujjah yang bersifat qathi’i dan harus diikuti. Adapun hadits shahih yang mutawatir ini biasanya digunakan oleh para ulama’ di dalam menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan aqidah dan hal-hal yang yang berkaitan dengan persoalan halal dan haram.
Berbeda dengan hadits shahih mutawatir, hadits ahad tidak digunakan oleh jumhurul Muhadditsin di dalam menentukan hal-hal yang berkaitan dengan akidah. Di sisi lain Ibnu Hazm Al-Dhahiri menetapkan bahwa hadits shahih memfaedahkan ilmu Qath’i dan wajib diyakini. Oleh sebab itu, setiap hadits shahih baik yang mutawatir maupun ahad dapat digunakan sebagai hujjah untuk menetapkan suatu akidah.
Perlu diketahui bahwa martabat hadits ini tergantung kepada ke-dlabit-an dan keadilan perawinya. Oleh karenanya bisa dipastikan bahwa semakin dlabit dan adil seorang rawi, maka haditsnya semakin memiliki kualitas yang tinggi.
Berdasarkan martabat tersebut, Muhadditsin membagi tingkatan sanad menjadi, beberapa tingkatan yaitu:
1. Ashah al-asanid, yakni rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. Abu ‘Abdillah Al-Hakim mengatakan bahwa dasar penetapan “ashah al-asanid” ada yang mengkhususkan sahabat tertentu dan ada yang mengkhususkan daerah tertentu.
2. Ashanul al-asanid, yakni rangkaian sanad yang tingkatannya di bawah tingkat pertama seperti hadits yang diriwayatkan oleh Hamad bin Salmah dari Tsabit dan Anas.
3. Adh’afal al-asanid, yakni rangkaian sanad hadits yang tingkatannya di bawah tingkatan kedua, seperti hadits riwayat Suhail bin Abi Shahih dari bapaknya dari Abu Hurairah.
B. Hadits Hasan
Ibnu Hajar sebagaimana dinukil oleh ‘Ajjaj Al-Khatibi mendefinisikan hadits hasan sebagai Khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi adil lagi sempurna kedlabitannya muttasil, musnad tanpa syadz dan ‘illat itulah yang disebut shahih li Dzatihi. Bila kedlabitannya kurang, maka itulah yang disebut Hasan Lidzatihi. “Ajjaj sendiri mendefinisikan hadits hasan sebagai hadits yang muttasihil sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil yang lebih rendah kedlabitannya tanpa syadz dan tanpa ‘illat. Di samping itu adapula yang mengatakan bahwa hadits hasan yaitu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tingkat hafalannya lebih rendah dibandingkan rawi hadits shahih.
Dari beberapa definisi hadits hasan di atas dapat diambil titik temu bahwa hadits hasan adalah hadits yang sanadnya bersambung kepada Rasulullah, diriwayatkan oleh seorang yang adil namun memiliki tingkat kedlabitan di bawah perawi hadits shahih serta selamat dari syadz dan ‘illat.
Hadits hasan dibagi menjadi dua macam yaitu Hasan Lidzatihi dan Hasan Lighairihi, Hasan Lidzatihi adalah hadits hasan yang kehasan-nannya muncul dari dalam hadits tersebut karena memenuhi syarat-syarat tertentu bukan karena berasal dari luar dirinya. Sedangkan hadits hasan lighairihi adalah hadits yang di dalamnya terdapat perawi “mastur” yang belum jelas kualitasnya, tetapi bukanlah perawi yang pelupa atau sering melakukan kesalahan dalam riwayat-riwayatnya, bukan muttahom bil al-kidzb dalam hadits juga bukan karena sebab lain yang dapat menyebabkannya tergolong fasik, dengan syarat mendapatkan pengukuhan dari perawi lain yang mu’tabar, baik berstatus mutabi’ maupun syahid.
Dengan demikian, hadits hasan Lighairihi mulanya merupakan hadits dhaif, yang naik menjadi hasan karena ada penguat, seandainya tidak ada penguat, tentu masih berstatus dhoif.
Demikian pula, sebagaimana hadits hasan lighairihi, hadits hasan lidzatihi bisa menjadi naik kualitasnya menjadi shahih lighairihi. Perubahan status ini juga di dasarkan karena adanya penguat dari perawi yang lain.
Mengenai kehujjahan hadits hasan, maka para ‘ulama hadits berpendapat bahwa hadits hasan dapat dijadikan hujjjah dan diamalkan sebagaimana hadits sahih. Namun tingkat kehujjahannya berada di bawah hadits shahih sehingga apabila ditemukan kontradiksi antara hadits hasan dan shahih, maka hadits shahih harus lebihdidahulukan.
C. Hadits Dha’if
Hadits dha’if adalah hadits yang tidak memiliki syarat-syarat bisa di terima. Hasan Sulaiman menyatakan bahwa hadits dho’if adalah hadits yang derajatnya di bawah hadits hasan, artinya hadits yang dalam persyaratannya kurang memenuhi menjadi hadits hasan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hadits dho’if adalah jenis hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk diterima sebagai hadits hasan. Jenis hadits ini sangat banyak sekali. Menurut keterangan Shubhi As-Shalih terdapat 381 macam bentuk yang kebanyakan tidak aktual dan tidak menunjukkan ciri-ciri terentu, di antara macam hadits dho’if yang disitilahkan oleh para ahli hadits adalah sebagai berikut:
1. Hadits Mursal
Hadits mursal ialah hadits yang di marfu’kan oleh seorang tabi’i kepada Rasul SAW, baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir, baik tabi’i itu kecil atau besar. Sebagian ulama’ memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah yang marfu’kan oleh tabi’i besar saja. Karena umumnya periwayatan tabi’i besar adalah dari sahabat. Sebagian ahli hadits tidak menilai hadits yang dimursalkan oleh tabi’i kecil sebagai hadits mursal, tetap hadits munqathi’.
Sedang menurut ulama’fiqih dan ushul hadits mursal adalah hadits yang perawinya melepaskannya tanpa menjelaskan sahabat yang ia ambil riwayatnya, dari sini tampak bahwa hadits mursal menyandarkan hadisnya pada Rasulullah, akan tetapi di dalamnya tidak disebutkan siapa sahabat yang menerima hadits tersebut dari rasul. Sehingga dalam hadits ini dijumpai sanad yang tidak berkesinambungan. Oleh sebab inilah hadits ini masuk ke dalam hadits dha’if.
Dalam hal kehujjahan, maka hadits mursal tidak boleh dijadikan hujjah dalam agama. Pandangan ini dipegang oleh para penghafal hadits dan para kritikus hadits. Di sisi lain mayoritas ulama’ berhujjah dengan hadits-hadits mursal sahabat. Mereka tidak menganggap hadits tersebut dha’if karena sahabat yang meriwayatkan sudah dianggap benar-benar menerima dari nabi.
2. Hadits Munqathi’
Adalah hadits yang dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau di dalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham. Dari segi gugurnya rawi ialah sama dengan hadits mursal. Hanya saja kalau hadits mursal gugurnya perawi di batasi di tingkatan sahabat, sementara dalam hadits mungqathi’ tidak ada batasan.
Contoh hadits yang gugur dari sanadnya menggugurkan rawinya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdur Rozak dan Ats-Tsani dari Abu Ishaq dari Zain bin Yutsayi dari Hudzaifah yang meriwayatkan secara marfu “jika kalian serahkan urusan kekhalifahan kepada Abu Bakar misalnya kalian akan mendapatkan orang yang kuat lagi terpercaya”.
Dari sanad Hadist ini, antara Ats Tsani dan abu Ishaq ada perawi yang di gugurkan, yaitu syarik. Sebab Ats Tsani tidak mendengar hadist ini secara langsung dari Abu Ishaq melainkan lewat Syarik dan Syarik inilah yang mendengar hadist dari Abu Ishaq.
3. Hadits Mu’dhal
Hadist mu’dhal yaitu hadits yang dari sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara berturut-turut. Termasuk jenis ini adalah hadist yang di mursalkan oleh tabi’at-tabi’iy. Hadist ini sama, bahkan lebih rendah dari hadist munqathi’, sama dari segi keburukan kualitasnya, bila kemunqathi’annya lebih dari satu tempat.
Diriwayatkan dari sebagian ahli hadist perkataan para penulis fiqh: Rasulullah SAW. Bersabda begini” termasuk mu’dhal. Karena di antara penulis itu dengan Rasulullah SAW terhadap dua atau lebih perawi. Padahal sebagian besar penulis fiqh ada pada masa-masa sesudah abad tabi’in.
4. Hadist Mudallas
Adalah hadist yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa bahwa hadist itu tiada bernoda. Hadist Mudallas di bagi menjadi dua, tadlis isnad dan tadlis suyukh

a. Tadlis Isnad
Ialah hadist yang disampaikan oleh seorang perawi dengan orang semasa dengannya dan ia bertemu sendiri dengan orang itu, meskipun ia tidak bisa mendengar langsung darinya, antar orang yang sama dengannya, tetapi tidak pernah bertemu dan ia menciptakan gambaran bahwa ia mendengar langsung dari orang tersebut.
Misalnya perkataan Ali bin Khasaram, kami sedang berada di dekat Sufyan bin Uyainah. Ia berkata, Az-zuhri berkata demikian, lalu ia tanya, adalah engkau mendengar ini dari Az-zuhri? Sufyan menjawab yang menceritakan kepadaku adalah Abdurrahman yang menerima dari Ma’mun dari Az-Zuhri. Jadi Sufyan hidup semasa dengan Az-zuhri dan pernah bertemu, tetapi ia tidak mengambil langsung dari Az-Zuhri, tetapi ia menutip dari Abdur Rozaq. Sedang Abdur Rozak mengutip dari Ma’mun dan Ma’mun meriwayatkan dari Az-Zuhri.
b. Tadlis Syuyukh
Bila seseorang perawi meriwayatkan hadist dari seorang guru dengan menyebutkan gelar atau nama panggilannya, nama keturunannya atau memeberikan sifat-sifat yang baik pada gurunya.
Misalnya pernyataan Abu Bakar Ibnu Mujahid al-Muqri bahwa telah meriwayatkan kepada kami Abdullah ibnu Abi Abdillah, yang dimaksudkannya adalah Abdullah Abi Daud As-Sijistani, pemilik as-sunah Abu Daud terkenal dengan nama kunyahnya seperti itu bukan dengan Abu Abdillah.

5. Hadist Mua’lal
Yaitu hadist yang tersingkap di dalamnya, illah Qadilah, meski lahiriahnya tampak terbebas darinya. Illat tersebut kadang di temukan pada sanad, kadang di temukan pada matan, kadang juga di temukan pada sanad dan matan sekaligus.
Ada 6 kategori hadist yang termasuk hadist jenis ini yaitu :
a. Hadits Mudla’af adalah hadits yang tidak di sepakati kedha’ifannya.
b. Hadits Mutharib adalah hadits yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling berbeda yang tidak mungkin.
c. Hadits maqlub adalah suatu hadits yang mengalami pemutarbalikan dari diri perawi mengenai matannya, nama salah satu rawi dan sanadnya atau suatu sanad untuk matan lainnya.
d. Hadits syadz adalah bisa di antara perawi tsiqoh ada diantara mereka yang menyimpan diri lainnya.
e. Hadits Munkar yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi dla’if yang berbeda dengan perawi-perawi (lain) yang tsiqoh.
f. Hadits Matruk dan Matruh
 Hadits Matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang Muttaham bi al-kidzbi (yang tertuduh melakukan dusta) dalam hadits nabawi, atau sering berdusta dalam pembicaraannya.
 Hadits Matruh yakni hadits yang diriwayatkan secara menyendiri oleh perawi yang tertuduh berdusta dalam hadits, termasuk orang yang dikenal sering berbuat dusta dalam selain hadits.

BAB III
KESIMPULAN

Dari pemaparan makalah di atas dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Ditinjau dari kualitasnya, maka hadits di bagi menjadi dua, yaitu hadits Maqbul dan Mardud.
2. Hadits Maqbul adalah hadits yang di terima periwayatnya serta di terima kehujjahannya dalam menentukan hal-hal yang berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum. Termasuk dalam kategori ini adalah hadits shahih dan hadits Hasan.
3. Hadits Mardud yaitu hadits yang di tolak atau tidak diterima karena tidak memilki syarat-syarat lagi di terimanya hadits tersebut. Termasuk dalam Hadits ini adalah hadits Dla’if dengan berbagai jenisnya semisal hadits Mu’dhal, Hadits Mursal, Mu’allal, Mudhtharib dan sebagainya.
4. Hadits yang di tolak biasanya memilki kriteria sebagai berikut:
a. Adanya cacat pada diri rawi
b. Adanya pertentangan dengan hadits yang lebih kuat.
c. Adanya pertentangan dengan akal sehat
d. Bertentangan dengan sabda-sabda kenabian.


DAFTAR PUSTAKA

Depag RI Qur’an Hadits, (Jakarta:Depag RI, 2002).
Hasan Sulaiman-Alwi Abas, Ibanatul Ahkam, Juz 1 (Surabaya: Al-Hidayah, tt.).
M. Azami, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Lentera, 2003).
M. Mustofa Azami, Metodologi Kritik Hadits, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996) .
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1995).
M.’Ajjaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits (Jakarta: Gaya Media Pratama,1998) Terjemah Qadinun Nur dkk, Cet 1.
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: Raja Grafindo, 2003).
Umar bin Muhammad bin Fatah ,Taqrirat Mandzumatul Baiquni, (htp,tt.).
Muhammad Ahmad, M. Muzdakir, Ulum al- Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Cet. II.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar